Pages

Majaz: Telaah Pemikiran Abdul Qahir al-Jurjani

Fakta sejarah menunjukkan, bahwa al-Qur’an turun secara evolutif (tadrij) selama lebih kurang 23 tahun. Hal ini memberikan kesan bahwa al-Qur'an berdialog, sekaligus merespon perilaku masyarakat Arab saat dakwah Islam disampaikan. Indikasi ini dapat dilihat dari gaya bahasa (uslub) al-Qur’an mengungkapkan pesan-pesannya yang tidak tunggal, melainkan sangat beragam.
Gaya bahasa al-Qur’an secara umum meliputi keserasian dalam tata-bunyi, dapat dipahami oleh orang ahli maupun orang awam, diterima oleh akal dan perasaan, formulasi dan narasi yang sangat akurat, variasi dan seni penyusunan kalimat yang sangat kaya, menghimpun gaya tuturan secara global, dan penggunaan kata yang efisien dan efektif. Di antara variasi ungkapan dalam al-Qur’an di atas maupun bahasa lain secara umum, Nasr Hamid Abu Zaid menganggap bahwa majaz (metafor) adalah elemen puncak dari bahasa.
Tidak berlebihan bila majaz diletakkan begitu istiemewa olehnya. Sebab, majaz dapat memberikan jembatan rasio manusia yang terbatas dengan dimensi Ilahiyah, metafisik, adikodrati yang serba tidak terbatas, bahkan juga mengatasi ruang dan waktu. Hal ini berdasarkan pada suatu kenyataan tentang hakikat bahasa bahwa bahasa sebagai simbol pasti memiliki suatu acuan. Karena itu, tidak mengherankan apabila di dalam bahasa al-Qur'an banyak ditemukan ungkapan metaforik-simbolik.
Dengan demikian, majaz begitu penting, lebih-lebih dalam studi al-Qur’an. Maka, eksplorasi majaz pada masa formulasi tidak bisa diabaikan. Tokoh-tokoh utama penyusun konsep ini adalah sebut saja misalnya al-Jahidz (w. 255 H/ 868 M), al-Qadhi Abdul Jabbar (w. 400 H), dan Abdul Qahir al-Jurjani (w. 471 H/ 1078 M).
Pada tulisan yang amat sederhana ini, penulis berusaha mengungkapkan konsep majaz menurut Abdul Qahir al-Jurjani. Di samping sumbangannya yang berharga, karena melengkapi teori al-Baqillani (w. 403 H.), pemikirannya dirasa signifikan. Sehingga, tidak salah, Issa J. Boullata, profesor sastra dan bahasa di McGill University, dalam karya kumpulan buku pilihan tentang mukjizat al-Qur’an, mengangkat Dalail al-I’jaz—salah satu karya al-Jurjani—sebagai salah satu karya yang masih layak dihadirkan sekarang.
Untuk memfokuskan pembahasan, tulisan ini berusaha menjawab, pertama, bagaimana perdebatan teologi yang berkembang pada saat formulasi konsep majaz al-Jurjani? Kedua, bagaimana teori majaz menurut al-Jurjani? Ketiga, bagaimana kontribusi teori tersebut dalam interpretasi al-Qur’an?

Al-Jurjani dan Perdebatan Teologi
Problematika majaz dalam pemikiran Islam termasuk problematika yang cukup kompleks. Berbagai perselisihan seputar majaz bukan hanya representasi perselisihan-perselisihan linguistik semata, melainkan juga representasi perselisihan pemikiran ideologis dan meluas pada pandangan dunia (wordl view) yang sangat mendalam.
Sejak terjadinya polarisasi Syi’ah-Sunni yang menemukan bentuk finalnya, menurut William Montgomery, antara 850-950 M, sejarah kalam merupakan sejarah ketegangan doktrinal politis dengan intensitas berbeda antarkurun waktu antara Mu’tazilah dengan Asy’ariyyah, Hanbaliyyah yang literalis, atau Maturidiyyah.
Pada abad ke tiga hijriyah, kajian mukjizat al-Qur’an, yang majaz merupakan salah satu unsurnya, menjadi obyek pelemik di kalangan kaum muslimim dengan tujuan membela dan mempertahankan ideologi dan faham mereka, seperti buku Ta’wîl Musykil al-Qur’ân karya Ibn Qutaibah, Maqalat al-Islamiyin karya Abi al-Hasan al-Asy’ari, Hujaj al-Nubuwwah karya al-Jahidz, dan al-Intishâr karya Abi al-Hasan al-Khiyath. Di kalangan ulama tafsir, ada juga yang mengkaji kei’jâzan al-Qur’an, seperti al-Thabari dalam Jâmi’ al-Bayânnya dan Majâz al-Qurân yang ditulis oleh Abu ‘Ubaidah. Dari kalangan ulama bahasa muncul seperti, al-Farra (w.207 H), Abu ‘Ubaidah (w. 210 H), al-Ahfasy (w.215 H), al-Zujaj (w. 311H), Abi Ja’far al-Nuhhas (w. 338), dan lainnya.
Polemik yang paling keras dalam masalah ini terjadi di kalangan mutakallimin, terutama dengan kemunculan faham Mu’tazilah. Bermula dari pendapat Labid bin A’sham, seorang Yahudi, yang menganggap Taurat adalah makhluk, maka demikian pula al-Qur’an adalah makhluk. Pendapat tersebut kemudian diikuti oleh Thalut ibn Ukhtah, Banan bin Sam’an, al-Ja’d bin Dirham.
Dari ketiga pengikut Labid bin A’sham tersebut, al-Ja’d bin Dirhamlah yang paling keras melakukan provokasi terhadap pendapatnya, bahkan secara terbuka, ia mengingkari al-Qur’an dan menolak beberapa isi kandungannya. Menurutnya, al-Qur’an sesungguhnya tidaklah memiliki kemukjizatan, karena sebenarnya manusia mampu membuat semisal al-Qur’an, bahkan lebih indah dari al-Qur’an sendiri. Abu Ishaq Ibrahim al-Nadzam, seorang pengikut faham Mu’tazilah menganggap i’jâz al-Qur’ân bukan terletak pada al-Qur’an sendiri, tetapi terletak pada faktor eksternal al-Qur’an, yaitu kehendak Allah yang membuat lemah dan tidak berdaya orang Arab untuk membuat semisal al-Qur’an, meskipun sesungguhnya mereka mampu membuatnya (al-shirfah).
Menanggapi sikap pemikir Mu’tazilah di atas, al-Jurjani (w. 471 H) dengan kitab Dalâil al-I’jâz, menolak pandangan itu. Ketidaksetujuannya ditunjukkan bukan sekedar perbedaan latar belakang madzhab, akan tetapi lebih merupakan teriakan kesalahan pada basis epistemologis Mu’tazilah dalam teologinya.
Jika ketidakmampuan mereka untuk menandingi al-Qur’an itu bukan karena keberadaan al-Qu’an yang mukjizat, tetapi karena dimasukkannya ketidakmampuan ke dalam diri mereka, dan dihalanginya tekad dan pikiran mereka dari kemungkinan untuk mengarang pembicaraan yang semisal dengannya, sehingga keadaan mereka, secara umum, seperti orang yang kehilangan pengetahuan tentang sesuatu yang sebelumnya dia ketahui atau orang yang dihalangi dari sesuatu yang sebelumnya bisa dia capai, maka seharusnya al-Qur’an itu tidak membuat mereka kagum, juga tidak akan muncul tanda-tanda ketakjuban dari diri mereka. Bukankah anda melihat jika seorang nabi mengatakan kepada kaumnya, “Mukjizatku adalah meletakkan tanganku ini di atas kepalaku pada saat ini, sementara kalian semua tidak akan mampu meletakkan tangan kalian di atas kepala kalian” kemudian terjadi seperti yang dikatakannya. Apakah yang dikagumi oleh kaumnya? Peletakan tangannya di atas kepalanya atau ketidakmampuan mereka untuk meletakkan tangan mereka di atas kepala?
Dengan argumentasi yang cukup menarik dan logis, melalui an-nadzm yang mencakup aspek majaz, isti’arah, kinayah, tamtsil, dan jenis-jenis metafora lain, kategori mukjizat al-Qur’an dalam pandangan al-Jurjani menjadi sangat jelas, yakni bukan karena dipalingkan.

Konstruksi Majaz al-Jurjani
Beberapa sarjana kontemporer menetapkan bahwa setidaknya ada tiga group berbeda yang memposisikan majaz, yaitu pertama, Mu’tazilah yang secara dogmatis ajaran-ajarannya banyak bersinggungan dengan majaz, kedua, Zahiriyyah, kelompok yang menolak keberadaan majaz baik dalam bahasa secara keseluruhan maupun dalam al-Qur’an, ketiga, Asy’ariyyah, kelompok yang mengakui adanya majaz dalam kondisi tertentu dan di bawah persyaratan-persyaratan yang ketat.
Perbedaan pandangan tersebut sangat wajar, bila kemudian menengok eksistensi Tuhan dan manusia. Ibnu Arabi, seorang sufi-falsafi, adalah tokoh yang berusaha menggabungkan dua arah sekaligus, yaitu Tuhan dan manusia. Ia menganggap bahwa Tuhan adalah jalan manusia, dan kepada-Nyalah tujuannya. Begitu juga, ia mengatakan bahwa manusia adalah jalan Tuhan, dan kepadanyalah Tujuan-Nya. Kelompok yang menolak majaz memulainya dari Tuhan yang berarti menjadikan kebenaran berada di sana, sedangkan dunia yang kita diami adalah majaz. Sebaliknya, memulai dari dunia kita ini berarti menjadikannya sebagai dunia kebenaran (al-haqiqah), sedangkan majaz merupakan puncak dunia metafisik.
Dan, pada bagian terakhir inilah, al-Jurjani mengambil posisi, majaz merupakan puncak dunia metafisik. Uraiannya tentang majaz sejauh pengamatan penulis dapat dilacak dalam dua kitab, yaitu Dalail al-I’jaz dan Asrar al-Balaghah. Hanya saja, yang penting untuk diketahui, kitab Dalail al-I’jaz terkesan tidak sistematis dengan mengabaikan uraian berdasarkan pembagian bab dan pasal. Dengan demikian, bab-bab yang ditampilkan meloncat-loncat. Penilaian ini disampaikan oleh Muhammad Syakir yang memberikan ta’liq terhadap kitab tersebut, dan memang penulis menemukan fakta itu.
Al-Jurjani menganggap Majaz tidak dapat dipisahkan dari haqiqah. Dalam kitab Asrar al-Balaghah, ia menjelaskan bahwa dua hal tersebut mempunyai makna berlawanan apabila sesuatu yang disifati (al-mausuf bihi) adalah tunggal (mufrad). Haqiqah adalah semua kata yang dikehendaki oleh si pengujar sesuai dengan makna yang diletakkan. Sedangkan majaz adalah semua kata yang dikehendaki oleh si pengujar tidak sesuai dengan makna yang diletakkan sebab ada hubungan antara yang pertama dan kedua. Sebagai contoh, saya melihat harimau, dengan maksud melihat seorang laki-laki pemberani seperti harimau.
Berbeda dengan majaz dalam kata tunggal, menurut al-Jurjani, majaz dalam jumlah terbagi menjadi dua, yaitu majaz aqli dan majaz lughawi. Majaz aqli terdapat dalam itsbat (makna yang menetapkan), sedangkan majaz lughawi terjadi pada mutsbat (makna yang ditetapkan). Contoh majaz yang ada pada makna itsbat adalah
وشيب أيام الفراق مفارقي
Artinya, “Hari-hari perpisahan telah membuat belahan rambutku memutih.”
Dalam contoh ini, bentuk majaz terletak pada penetapan uban sebagai perbuatan hari, padahal jelas tidak demikian. Artinya, hari tidak mungkin menjadikan rambut penyair beruban, akan tetapi itu hanya ditetapkan oleh Allah semata.
Contoh majaz pada al-mutsbat (sesuatu yang ditetapkan) adalah
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ
Artinya, “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia.” (QS. Al-An’am: 122).
Majaz dalam ayat ini terletak pada al-mutsbat, yaitu kehidupan. Artinya, ilmu, petunjuk, dan hikmah dijadikan sebagai kehidupan bagi hati.
Lebih lanjut, al-Jurjani menjelaskan bahwa majaz lughawi terbagi lagi dalam isti’arah dan tamtsil. Secara istilah, isti’arah adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu, karena ada keterkaitan. Misal, saya melihat cahaya, dengan maksud melihat petunjuk. Sedangkan tamtsil sebagaimana dalam sebuah contoh:
أراك تقدم رجلا وتؤخر أخرى
Artinya, “Aku melihatmu melangkahkan satu kaki dan meninggalkan kaki yang lain.” Kalimat ini menggambarkan situasi bingung yang dialami oleh seseorang, sehingga ia seolah seperti orang yang mondar-mandir melangkahkan kaki.

Kontribusi al-Jurjani dalam Interpretasi al-Qur’an
Secara metodologis maupun karya, interpretasi terhadap al-Qur’an mengalami perkembangan. Jika pada masa klasik studi al-Qur’an masih diwarnai oleh pemahaman yang didasarkan atas kecenderungan tertentu, seperti gramatika, retorika dan kandungan tematiknya, seperti fiqih, tauhid, kisah dan lain sebagainya, maka memasuki masa modern tafsir al-Qur’an lebih dilihat secara fungsional, di mana fungsi dan tujuan diwahyukannya al-Qur’an kepada manusia adalah untuk memberikan petunjuk (hudan).
Namun, untuk sampai kepada tujuan tersebut, al-Qur’an pertama kali harus diposisikan sebagai kitab berbahasa Arab. Maka, tugas ilmu tafsir adalah melakukan kontemplasi terhadap al-Qur’an sebagai sebuah kitab bahasa Arab yang teragung (Kitab Al-‘Arabiyyah Al-Akbar) dan mempunyai dampak kesususastraan yang paling besar. Demikian, pandangan beberapa tokoh kontemporer, seperti Amin al-Khuli, Nasr Hamid Abu Zaid, dan Nur Kholis Setiawan.
Penetapan al-Qur’an sebagai kitab bahasa Arab teragung yang bernilai sastra tinggi memposisikannya sebagai teks linguistik. Sebagai teks linguistik, majaz merupakan suatu keniscayaan, sebagai alat bantu untuk memahami dan mengetahui maksud-maksudnya. Dan, semenjak klasik, konsep majaz telah begitu akrab diperbincangkan oleh para tokoh, termasuk al-Jurjani. Dengan demikian, dapat diketahui, betapa al-Jurjani dengan konsep majaz telah memberikan pondasi-pondasi penting bagi interpretasi, yang bahkan sangat digemari oleh tokoh-tokoh kontemporer.

Penutup
Konsep majaz al-Jurjani adalah salah satu metode interpretasi al-Qur’an yang lahir dari kesadaran bahasa, rasio, dan teologi. Karena aspek-aspek yang mengakui eksistensinya sangat kuat, pemakaiannya pun adalah mendesak, untuk tidak mengatakan mutlak. Ayat-ayat al-Qur’an yang metafisik dan metaforis dapat dipahami lebih mudah dengan menggunakan konsep majaz al-Jurjani. Hanya saja, hal demikian belum begitu menggugah banyak umat Islam. Mereka masih Jabbariyyah, sehingga literaris dalam memahami banyak ayat.

Read More..
 
Powered by Blogger