Pages

Sikap Santri Terhadap Turats dan Tajdid

Ada perbedaan sikap dari umat Islam terhadap turats dan tajdid. Sebagian menganggap turats sebagai lahan yang menyediakan jawaban atas persoalan-persoalan dalam semua aspek kehidupan. Sementara yang lain memandangnya berbeda. Turats telah usang, karena ia didedahkan oleh ulama berdasarkan kebutuhan dan konteks yang melatarinya waktu itu. Sehingga, turats dipandang sebelah mata, sekedar dokumen yang diruju’ setelah referensi-referensi lain.

Sama halnya dengan tajdid. Sikap mereka dalam hal ini bercabang menjadi dua. Aliran pertama menganggap tajdid tidak perlu dilakukakan. Buat apa? Kita sudah punya warisan berupa kitab-kitab khazanah intelektual klasik yang menyuguhkan alternatif-alternatif solusi permasalahan. Dengan demikian, tajdid hanya pekerjaan sia-sia, di samping kapasitas dan kemampuan kita sama sekali tidak memadai.

Sebagian lain menatap tajdid dengan perspektif berbeda. Bagi aliran kedua, tajdid mesti dilakukan oleh semua orang yang hidup pada setiap penggalan zaman. Azas yang mereka pakai adalah perubahan sebagai keniscayaan. Maka, seiring dengan bergantinya zaman dengan persoalan-persoalan ekonomi, politik, budaya, sosial, dan keagamaan yang menjadi background makronya, pembaharuan harus dilakukan.

Sikap demikian tampaknya juga mengidap pada santri—komunitas pencari ilmu agama Islam yang tinggal di pesantren. Sehingga, diam-diam terdapat letupan-letupan kecil dari sebagian santri beberapa pesantren sebagai reaksi dari masalah ini agar tidak jatuh dalam kubang dua kutub berlawanan tersebut. Bagaimana seharusnya sikap mereka terhadap turats? Bagaimana sikap mereka terhadap tajdid? Dan bagaimana menyikapi al-jadid? Berikut akan diuraikan lebih detil.

Penguasaan Turats

Dalam bahasa saya, meskipun sebenarnya terdapat pengertian yang lebih luas, turats adalah kitab-kitab yang ditulis oleh tokoh-tokoh sebelumnya, baik di bidang filsafat, fiqh, ushul fiqh, hadis, ulum al-hadis, tafsir, ulum al-Qur’an, teologi/ kalam, etika, tasawuf, dan sebagainya.

Bagi santri, turats bak mutiara berkilauan memberikan daya tawar yang tinggi dan berarti. Bagaimana tidak, ajaran-ajaran Islam yang diyakini paling benar berasal dari turats tersebut. Al-Qur’an dan hadis sebagai masdar al-tasyri’ (dalam bahasa al-Ghazali al-mutsmir, di samping Ijma’) agar dapat membumi dijelaskan melalui cabang-cabang keilmuan di atas. Oleh karena itu, apa yang kemudian dibaca adalah pemahaman tokoh-tokoh tentang dua sumber ajaran tersebut.

Mengetahui begitu berharganya turats, jelas tugas yang diemban santri adalah penguasaan terhadap materi-materi keilmuan itu. Tentu, ini bukan tugas yang mudah. Karena sebelum memahaminya secara komprehensif terdapat tahap yang harus dilewati, yaitu penguasaan bahasa Arab. Sementara, bahasa Arab dikenal sebagai bahasa yang mempunyai kaidah rumit karena cakupannya yang luas, seperti nahwu, sharf, dan balaghah. Dengan demikian, pendalaman terhadap aspek ini memerlukan waktu yang relatif lama. Maka tidak salah, bila pesantren mempunyai tradisi kuat baca dan kajian kitab kuning ala bandongan dan sorogan, agar santri terbiasa memahami bahasa Arab (turats) secara mandiri dengan pendekatan tradisional.

Menyambut Wacana Tajdid

Namun, apakah turats sudah merangkul berbagai persoalan yang cenderung terus berkembang? Menyadari peralihan masa itu sendiri, turats tidak dapat selamanya dianggap sebagai harga mati yang harus dipertahankan sampai kapan pun. Melainkan, perubahan dan pembaruan merupakan dua hal yang tidak dapat dihindarkan.

Hemat saya, pembaruan atau tajdid mempunyai dua sasaran, yaitu paradigma dan karya. Bergulirnya wacana tajdid yang didengungkan oleh cendikiawan-cendikiawan muslim kontemporer seperti Hasan Hanafi, Arkoun, Nasr Hamid Abu zaid, Adonis, dan lainnya masih dalam lokus paradigmatik. Dan siapa pun yang menyadari pentingnya tajdid, membangun suatu paradigma kritis terhadap pemikiran-pemikiran yang telah lalu merupakan agenda terdekat sebagai loncatan menuju suatu konstruksi baru yang dipandang relevan.

Meskipun demikian, capaian yang mereka dapatkan setidaknya menyadarkan kaum muslimin tentang sikap yang selama ini ditampilkan terhadap turats. Dengan gugatan-gugatan yang terkadang memerahkan telinga pemikir tradisional, mereka seolah menegur kita betapa pandangan yang selama ini dipertahankan sudah tidak layak lagi.

Gelegat pemikiran pembaruan terhadap turats tampaknya juga diminati oleh sebagian santri. Pesantren-pesantren yang lebih inklusif karena diuntungkan oleh regional bersentuhan dengan wacana-wacana keagamaan akademik memberikan ruang yang lebih longgar terhadap para santri untuk melihat secara lebih dekat pandangan-pandangan yang dianggap menyegarkan tersebut. Di pesantren al-Lukmaniyyah, misalnya, mana yang mayoritas santrinya belajar di UIN Sunan Kalijaga, wacana tentang perlunya menyambut tajdid bukan hal asing.

Autokritik

Akan tetapi, seringkali wacana tajdid diterima oleh santri secara parshial. Tajdid dianggap suatu garapan independent tanpa memandang turats. Jelas, tajdid dalam hal ini justru akan menemukan kendala. Pertama, itu tidak disebut sebagai tajdid, karena tanpa pijakan untuk memantulkan pandangan-pandangan pembaruan. Kedua, tajdid sama sekali menjadi wilayah yang kerdil.

Maka, berdasarkan alasan itu, tidak bisa tidak, santri harus mampu melahap turats dengan sebaik dan sebanyak mungkin sebagai syarat menemukan wajah baru. Bila ini mengalami kendala karena kuantitasnya yang besar, ia harus mampu menjadi santri yang eksis dengan satu cabang saja. Barangkali, satu cabang yang berada dalam genggaman tersebut membukakan peti besar keilmuan lain yang masih tertutup.

Dengan bekal semangat tajdid sebagai kelanjutan dari penguasaan turats, santri harus lebih bisa bersikap akomodatif terhadap wacana sosial, politik, ekonomi, teknologi, dan berbagai kegiatan lapangan. Mengapa? Bisa jadi, pada aspek-aspek inilah inspirasi paradigma dan gerakan yang lebih menyegarkan tentang keagamaan menemukan ibtida’nya. Oleh karena itu, sebelum gerbong wacana dan pengetahuan melaju jauh, alangkah baiknya bila kita segera masuk ke dalamnya dan bahkan menguasai satu persatu gerbong itu. Wallahu a’lamu bi al-shawab.

Read More..

Bahasa Arab dan Studi Keislaman


Pengetahuan manusia tidak bisa dilepaskan dari peranan bahasa sebagai medium. Baik pengetahuan yang berasal dari dunia ide (idealisme) maupun pengetahuan yang bersumber dari fakta menyejarah (empirisme), tetap membutuhkan bahasa untuk transformasi ke dalam wujud yang bisa diakses secara lebih luas sekaligus dapat diteoritisasikan sehingga menjadi bagian yang sistematis dan logis. Tak ayal, bila kemudian bahasa mempunyai kedudukan sentral bagi pengetahuan untuk dapat berkembang secara gradual dari waktu ke waktu.
Fakta ragamnya bahasa yang dimiliki oleh kelompok masyarakat di dunia lebih menunjukkan variasinya. Namun demikian, terdapat pandangan yang menyatakan bahwa bahasa adalah representasi dari pengetahuan dan nalar suatu masyarakat. Banyak tokoh yang menguatkan tesis ini. Sehingga, mereka memposisikan bahasa dengan segala struktur yang membentuknya sebagai unsur kesadaran terdekat tentang kapasitas dan kemampuan nalar masyarakat.

Di antara sekian bahasa dunia, bahasa Arab mempunyai keistimewaan tersendiri daripada bahasa yang lain. Hal ini karena ia mempunyai kaidah yang lebih lengkap dari segi waktu, struktur, dan sebagainya. Lain halnya, misal, bahasa Indonesia, mana yang untuk mengungkapkan pekerjaan pada waktu tertentu harus menggunakan kata lain selain kata kerja tersebut. Di samping boros kata, penggunaan ini mempunyai pengertian lambatnya pola pikir dalam logika bahasa Indonesia.

Salah satu alasan mengapa al-Qur’an—yang merupakan sumber pokok Islam pertama setelah hadis—diturunkan pada masyarakat Arab adalah faktor bahasa yang digunakan oleh mereka. Karena bahasa Arab mempunyai bagian-bagian menakjubkan, al-Qur’an menyambutnya dan menjadikannya sebagai titik tolak kemukjizatan. Berangkat dari sinilah, studi Islam dan ilmu-ilmu keislaman tidak bisa dilepaskan dari bahasa Arab. Oleh karena itu, penulis pada makalah ini berusaha mengungkapkan lebih jauh tentang: bagaimana perkembangan bahasa Arab setelah Islam turun dengan al-Qur’an yang berbahasa Arab? Bagaimana kajian keislaman yang menjadikan bahasa al-Qur’an sebagai obyeknya? Apakah bahasa Arab bisa disebut sebagai bahasa Agama?


Lingkup Historis Bahasa Arab

Bahasa Arab berkembang dengan baik tanpa ada yang merusaknya dan jauh dari pengaruh bahasa-bahasa lain. Keadaan ini berlangsung cukup lama. Faktor yang mendukung demikian adalah konsistensi orang-orang Arab sendiri dalam interaksi. Aspek ma’isyah, mereka lebih senang mencarinya di daerah mereka sendiri. Padahal, di beberapa negara lain, seperti Persia dan Romawi, pekerjaan dan sumber penghasilan jauh lebih memadai. Akan tetapi, itu tidak membuat mereka tergiur sehingga merelakan diri hijrah ke sana.

Bahasa Arab mempunyai kelebihan-kelebihan dibanding dengan bahasa lain, baik dalam kalimat, struktur, pengaruh, maupun cakupannya. Sehingga, realisasi ilmu, verbalisasi pikiran dan imajinasi, pemaduan kaidah, dan penentuan korelasi, dapat lebih mudah terwujud.

Masyarakat Arab pra-Islam adalah masyarakat theosofis yang mengakui dan mengesakan Tuhan Nabi Ibrahim. Akan tetapi, citra baik itu kemudian tergadaikan oleh penuhanan berhala dan patung. Beberapa periode kemudian, Islam Nabi Muhammad datang membenarkan akidah yang menyimpang tersebut dengan al-Qur’an sebagai panduan. Sejarah Arab pra-Islam sampai kedatangan Islam menyuguhkan semacam relasi yang sangat menarik tentang bahasa Arab.

Memang pada dasarnya, semua bahasa sekaligus sastranya selalu berkait-kelindan dengan aspek-aspek politik, agama, dan sosial yang terjadi di suatu masyarakat. Hal ini merupakan watak bahasa itu sendiri sebagaimana dijelaskan di muka sebagai media bagi pengetahuan idealis dan empiris. Oleh sebab itu, bahasa Arab selalu menguntit dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam sebagai sebuah agama; persinggungan bahasa Arab dengan Islam sangat erat sekali.

Bahasa Arab mempunyai beberapa periode. Pertama, periode jahiliyyah dan berakhir dengan datangnya Islam. Periode ini berlangsung selama kurang lebih 150 tahun. Kedua, periode awal Islam, mencakup kekuasaan Bani Umayah. Periode ini dimulai pada saat Islam hadir sampai berdirinya daulah Abbasiyah (132 H). Ketiga, masa Bani Abbas, yang dimulai dengan berdirinya kerajaan mereka. Periode ini berhenti sampai jatuhnya kota Baghdad oleh pasukan kerajaan Cina (656 H). Keempat, masa kerajaan-kerajaan Turki yang dimulai dengan runtuhnya Baghdad, dan berakhir dengan masa Arab modern. Kelima, masa Arab modern, yang muncul semenjak abad 19 hingga sekarang.

Dari sekian periode yang membentang itu, masing-masing terdapat keunikan dan kekhasan sendiri. Pada periode Jahiliyyah, bahasa Arab cenderung terkonstruk dalam perumpamaan dan hikmah. Tujuan yang dibangun dari kecenderungan ini adalah untuk berdebat dan menampilkan penjelasan terhadap fakta dan informasi tentang peristiwa dan kisah.

Pada periode kedua, yakni awal Islam, bersamaan dengan tersebarnya bahasa Arab Quraisy, bahasa Arab kental dengan corak Quraisy. Bahkan, bahasa Arab Quraisy ini mempengaruhi beberapa wilayah lain, yaitu Persia dan Romawi. Ciri yang paling menonjol dalam periode ini adalah perhatian yang besar pada fasihah bahasa. Sebab, bahasa Arab Quraisy lebih menekankan bahasa orasi yang mana ini membutuhkan ketepatan, sistematis, dan teratur dalam penyampaian.

Sementara, pada periode ketiga, bahasa Arab sudah banyak mengalami perkembangan, seiring dengan tujuan bahasa itu sendiri. Pada periode Abbasiyah, bahasa Arab berfungsi sebagai alat kondifikasi ilmu syari’at, bahasa, dan logika. Fungsi kedua bahasa Arab adalah sebagai terjemah dari bahasa-bahasa asing. Fungsi ketiga adalah untuk merealisasikan tujuan-tujuan produksi bahasa yang berbeda-beda. Sedang fungsi keempat adalah untuk mewujudkan berbagai pertemuan, diskusi, pembahasan, debat, dan pendalaman ilmu pengetahuan.

Dengan berbagai tujuan di atas, pada periode ini bahasa Arab diungkapkan dalam bentuk, pertama, menghilangkan pemborosan kata dan ungkapan yang mudah. Di sisi lain, ia banyak disampaikan dengan menggunakan kata-kata al-Qur’an. Kedua, transliterasi bahasa-bahasa asing ke dalam bahasa Arab. Ketiga, memperbanyak pemakaian majaz, tasybih, kinayah, dan badi’. Keempat, pemakaian kata-kata yang menunjukkan pengagungan dalam laqab (julukan) khalifah dan pemimpin. Kelima, penggunaan saja’. Keenam, memperbanyak ungkapan-ungkapan dari para filsuf. Ketujuh, memperbanyak penggunaan struktur Yunani. Kedelapan, meletakkan istilah-istilah bagi cabang-cabang ilmu tertentu.

Pada periode keempat, setelah kerjaan dari Cina meruntuhkan kota Baghdad—yang mana koleksi perpustakaan dibakar dan banyak tokoh-tokoh terbunuh—bahasa Arab mengalami metamorfose dengan banyak adobsi dari bahasa Turki. Pada periode ini pula secara resmi, pemerintah Usmaniyyah menjadikannya sebagai bahasa resmi negara. Kenyataan ini membawa dampak yang tidak kecil terhadap kajian keislaman.

Periode kelima, tepatnya pada akhir abad 18 M, bahasa Arab mengalami banyak perubahan. Hal ini karena negara-negara Arab pada abad tersebut berada pada ujung kehancurannya sebagai sebuah daulah, baik dari segi pemerintahannya, akhlak, sastra, dan bahasanya. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh bangsa Eropa dengan baik—bersamaan dengan pesatnya capaian mereka—untuk menaklukkan bangsa Arab melalui pemikiran, keilmuan, dan sastra, tidak dengan ekspansi dan peperangan.


Bahasa Arab Sebagai Sentral Studi Islam

Ketika agama Islam diturunkan di Jazirah Arab, sastra Arab memasuki babak baru. Al-Qur’an telah memberikan pengaruh besar dan signifikan terhadap bahasa Arab. Bahkan, al-Qur’an tak hanya memberi pengaruh terhadap sastra Arab, namun juga terhadap kebudayaan secara keseluruhan.

Bahasa yang digunakan dalam al-Qur’an disebut bahasa Arab klasik. Hingga kini, bahasa Arab klasik masih sangat dikagumi dan dihormati. Al-Qur’an merupakan firman Allah SWT yang sangat luar biasa. Terdiri dari 114 surat dan sekitar 6600 ayat, al-Qur’an berisi tentang perintah, larangan, kisah, cerita, dan perumpamaan. Ini semua begitu memberi pengaruh yang besar bagi perkembangan sastra Arab.

Sementara, tidak diragukan lagi, al-Qur’an merupakan sumber ajaran agama Islam. Berbagai hal yang berhubungan dengan keimanan, nilai, moral, dan hukum dapat ditemukan di sana. Di samping al-Qur’an, Allah swt. menegaskan bahwa hadis merupakan prinsip selanjutnya. Melaluinya, penjelasan dan penetapan tentang materi al-Qur’an dapat digalikan. Dengan demikian, baik al-Qur’an maupun hadis merupakan pusat untuk menggali dimensi-dimensi keislaman.

Satu hal yang penting dimunculkan menyikapi pernyataan di atas adalah lantas bagaimana umat Islam memahami dan menggali keduanya? Jawaban paling mula adalah dengan bahasanya. Umat Islam dapat memperoleh pengetahuan dan ilmu melalui bahasa yang digunakan oleh keduanya. Oleh sebab itu, kajian-kajian keislaman sama sekali tidak bisa dipisahkan dengan tanpa menapaki perjalanan bahasa Arab.

Penegasan bahawa bahasa al-Qur’an adalah bahasa Arab dapat diperoleh dari Surat Yusuf ayat 2.
Artinya, “Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf: 2)

Secara lebih ekstrem Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya tatkala Allah menurunkan kitab-Nya dengan bahasa Arab, tatkala Allah mengangkat Rasul-Nya sebagai penyampai Al Kitab dan Al Hikmah dari-Nya melalui lisan beliau yang berbahasa Arab, tatkala Allah menjadikan orang-orang yang terdahulu membela agama ini dalam keadaan bertutur kata dengan bahasa itu, dan terlebih lagi tatkala tidak ada cara lain untuk memelihara keutuhan ajaran agama dan memahaminya kecuali dengan menjaga bahasa ini, maka itu berarti mempelajarinya termasuk bagian dari ajaran agama dan akan lebih memudahkan orang dalam menegakkan syi'ar-syi'ar agama.”

Banyak cabang ilmu yang dapat diperoleh setelah mempelajari bahasa Arab dengan menjadikan al-Qur’an dan hadis sebagai obyek kajiannya. Di antaranya adalah nahwu, sharaf, balaghah, bayan, badi’, ma’ani, ushul fiqh, ulum al-Qur’an, dan ulum al-Hadis. Dari sinilah kajian dan studi tentang Islam memperoleh pijakannya.

Perkembangan selanjutnya yang dituai studi keislaman dalam wilayahnya yang lebih luas, baik pemekaran dalam metodologi maupun pendekatannya tidak dapat dilepaskan dari ilmu-ilmu di atas. Dengan demikian, ilmu-ilmu di atas di samping merupakan pengetahuan besar umat Islam, juga merupakan batu loncatan menuju kajian keislaman yang lebih luas lagi. Oleh sebab itu, perkembangan dan kemajuan studi keislaman berangkat dari ilmu-ilmu di atas yang menjadikan bahasa Arab sebagai sentral pendulumnya.


Bahasa Arab: Bahasa Agama?

Dengan uraian di atas, apakah bisa dikatakan bahwa bahasa Arab adalah bahasa agama? Tidak mudah untuk menjawabnya.

Komaruddin Hidayat dalam bukunya “Menafsirkan Kehendak Tuhan” memberikan definisi bahasa agama dengan dua hal, yaitu theo-oriented dan antropo-oriented. Mengenai yang pertama apa yang disebut bahasa agama adalah kalam Ilahi yang kemudian terabadikan ke dalam kitab suci.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dalam memikirkan, membahasakan, dan mengekspresikan pikiran tentang Tuhan dan obyek yang abstrak, manusia tetap menggunakan ungkapan yang familiar dengan dunia inderawi, dengan bahasa kiasan dan simbol-simbol sekuler. Hanya saja, ia kemudian diberi muatan yang melewati realitas inderawi.

Dengan demikian, bahasa agama secara historis-antropologis adalah bahasa manusia, tetapi secara teologis di dalamnya memuat kalam Ilahi yang bersifat transhistoris atau metahistoris. Akibatnya, bahasa metafor dalam kitab suci potensial untuk menimbulkan dua implikasi: positif dan negatif.

Segi negatifnya, pesan Tuhan sulit ditangkap secara persis, sehingga umat beragama berselisih paham. Positifnya terletak pada kemampuan bahasa metaforis untuk mengakomodasi penafsiran dan pemahaman baru, sehingga kitab suci maupun karya sastra akan selalu hadir setiap saat tanpa kehilangan daya pikatnya.


Kesimpulan

Sejarah panjang perjalanan bahasa Arab bersamaan dengan Islam telah melahirkan peradaban yang besar. Islam, yang hadir dengan al-Qur’an sebagai kitab sucinya, menyapa masyarakat penerimanya dengan menggunakan bahasa Arab. Berbagai cabang pengetahuan keislaman telah ditemukan dan mengalami perkembangan yang sangat pesat melalui bahasa Arab.

Namun, meskipun bahasa Arab digunakan oleh al-Qur’an maupun hadis dan darinya telah melahirkan berbagai cabang ilmu keislaman tidak lantas bahasa Arab dianggap sebagai bahasa agama. Sebab, agama yang dibahasakan oleh manusia adalah dengan menggunakan bahasa yang akrab bagi mereka. Tentu, agama akan sulit dipahami oleh orang ‘Ajam bila tetap memakai bahasa Arab dalam transformasinya. Meskipun demikian, secara teologis bahasa Arab merupakan bahasa al-Qur’an yang metahistoris. Wallahu a’lamu bi al-shawab.

Read More..

Membaca Kitab Kuning

Bagi dunia pesantren, kitab kuning bukanlah istilah asing. Selalu, pihak-pihak yang tinggal di pesantren, baik kyai maupun santri, menjadikannya sebagai pendamping yang diharapkan membawa banyak arti. Lembaran-lembarannya dibuka, dibaca, dan ditelaah dengan penuh kesadaran mencari pengetahuan religi, setiap hari. Bahkan, terkadang, santri mencipta pelangi, karena tertidur setelah memeluknya sekian waktu, dari berbagai materi.

Namun, tidaklah mengapa, mengungkapkan kembali beberapa hal mendasar tentangnya, meskipun ia sudah begitu melekat dalam kehidupan mereka dan kita, saat ini. Dengan harapan, materi-materi yang disampaikan olehnya dapat lebih mudah digali dan dimengerti, setelah nanti, ia benar-benar dikaji.

Definisi

Istilah kitab kuning sebenarnya hanya ada di Indonesia, disematkan oleh agamawan klasik negeri ini, terinspirasi dari warna kuning kertasnya. Memang demikian alasannya, sebab bila diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, sebagai bahasa yang dipergunakannya, ia tidak mempunyai pengertian apa-apa. Coba anda perhatikan, al-kitab al-ashfar, apakah menunjuk pada sesuatu tertentu dalam bahasa Arab? Tentu, anda menjawab tidak. Oleh karena itu, istilah ini sekedar penyederhanaan yang dipungut dari bentuk fisiknya semata.

Meskipun demikian, kitab kuning mempunyai maksud dan pengertian lebih dari itu, sebagai buah pemikiran tokoh-tokoh tentang pengetahuan agama yang berbahasa Arab. Pengetahuan agama yang membentang luas tentang tafsir, syarah, fiqh, tasawuf, kalam, ulum al-qur’an, ulum al-hadits, dan sebagainya direkam dalam sebuah wadah dan dokumen yang bernama kitab kuning. Kemudian, bahasa untuk merekam berbagai pengetahuan tersebut adalah bahasa Arab, bahasa al-Qur’an. Maka, meruju’ pada pengertian ini, kitab yang berbahasa Arab dan berkertas putih pun dapat disebut kitab kuning, selama berisi pengetahuan agama.

Sumber Penyusunan Kitab Kuning

Harus disadari memang, kitab kuning merupakan produk ijtihad ulama. Ia dituangkan berdasarkan kemampuan keberagamaan mereka tentang bidang tertentu. Akan tetapi, semata-mata, itu berasal dari penalaran terhadap al-Qur’an dan hadits. Penalaran sekedar menjadi media menyerap keduanya, bukan satu-satunya. Oleh sebab itu, al-Qur’an dan hadits merupakan sumber pengetahuan dan pemikiran yang tertuang dalam kitab kuning. Maka, kita menemukan berragam karya, yang tidak lepas dari cakupan al-Qur’an dan hadits sendiri, tentang ‘aqaid, mu’malah, etika, dan sebagainya.

Penalaran terhadap keduanya, sesungguhnya, mengikuti apa yang pernah dilakukan Nabi Muhammad sendiri, saat menjelaskan dan menguatkan al-Qur’an. Maka, wajar, bila para penerus setelah beliau juga mempunyai hasrat yang sama untuk mewujudkan pekerjaan mulia tersebut. Di samping alasan ini, ijtihad para ulama dalam produksi kitab kuning itu adalah untuk membumikan al-Qur’an sendiri yang difirmankan dalam bahasa yang masih global.

Membaca Kitab Kuning

Satu tahapan penting yang harus dilalui oleh semua pembaca kitab adalah kesadaran tentang lingkup ruang dan zaman penulisannya. Bahwa, kitab kuning, meskipun berisi kalam mulia dan hikmah, tetap tidak bisa lepas dari sifat lokalitas dan temporalitas. Ulama memang menulis tafsir, misal, yang berisi penjelasan-penjelasan tentang ayat. Akan tetapi, perlu diketahui, ia menulis itu berdasarkan pengalaman-pengalaman pada tempat dan masanya. Situasi sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan lainnya, sedikit banyak turut andil dalam penulisan tersebut. Hal-hal itu mempengaruhi penulis dalam menuangkan pemikiran dan pengetahuannya, tentunya.

Maka, di sini, penting menyadari bahwa kitab-kitab yang dipelajari nanti bukan sesuatu yang suci dan tidak tersentuh oleh kritik dan saran. Ia tidak sama dengan hadits, apalagi al-Qur’an. Melainkan, secara inklusif, ia menerima itu sebagai sebuah tantangan. Saat penulisan kitab, penulis menebarkan pandangan-pandangannya, sembari mengajak pembaca berpikir dan bersikap aktif, untuk tidak hanya mengamini, tapi memberikan masukan dan pendapat yang konstruktif. Begitulah!

Memang benar demikian. Namun satu keistimewaan yang tidak banyak didapat pada penulis-penulis sekarang, penulis kitab kuning mempunyai orientasi sangat mulia. Mereka menulis kitab bertujuan mengenalkan agama, berdakwah, dan lillahi ta’ala. Barangkali, inilah yang membuat karya mereka begitu monumental dan bersejarah. Lihat saja, kitab al-Ajurumiyyah, Ibnu ‘Aqil, al-Imrithi, Safinah al-Naja, Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab, ‘Aqidatul Awam, dan sebagainya, adalah kitab-kitab yang sampai sekarang dikaji di pesantren-pesantren. Padahal, kitab-kitab itu berumur ratusan tahun lalu. Tentu, motif-motif mulia itulah yang mampu mengeluarkan energi positif, hingga mewaris pada kita.

Maka, sebagai bagian dari respon baik pada kitab kuning dan penulisnya, pesantren-pesantren mentradisikan membaca fatihah untuk muallif sebelum ngaji dan mengucap hamdalah setelahnya. Sungguh, suatu tradisi baik yang perlu dilestarikan! Meskipun sebenarnya ada maksud lain dalam tradisi tersebut.

Teknis Membaca Kitab Kuning

Selama ini, pesantren-pesantren masih mempertahankan pemaknaan gandul sebagai upaya mempelajari kitab kuning. Pemaknaan gandul adalah menerjemahkan kitab perkata ke dalam bahasa Jawa atau Indonesia dengan menyertakan tarkib (jabatan) dan alamat i’rabnya. Misal,

الحمد لله رب العالمين

Makna gandul, “Alhamdu utawi sekabehane puji, iku lillahi kagungane Allah, rabbil ‘alamin kang nguasani alam kabeh.

Dan, ternyata, sampai saat ini, makna gandul dianggap sangat efektif digunakan untuk membaca dan memahami kitab kuning. Meskipun, harus diakui, metode ini memakan waktu relatif lama. Tapi, tak mengapa…!

Penggunaan Simbol/ Tanda Baca

Untuk memudahkan itu, simbol-simbol juga penting dipelajari. Simbol-simbol ini mewakili jabatan kata, saat pemaknaan dilakukan. Berikut simbol-simbolnya:

م : mubtada’ = utawi

خ : khabar = iku

فا : fa’il = sopo (orang)

ف : fa’il = opo (benda)

نف : naibul fa’il = opo

مف : maf’ul bih = ing

ن : na’at = kang

بد : badal = rupane

ك : taukid = yo

ح : hal = hale

تم : tamyiz = apane

ع : illat = kerono

Meskipun tidak semua disampaikan di atas, namun, itu simbol-simbol yang paling sering digunakan dalam membaca ala gandul. Wallahu a’lamu.

Read More..
 
Powered by Blogger