Pages

Majaz: Telaah Pemikiran Abdul Qahir al-Jurjani

Fakta sejarah menunjukkan, bahwa al-Qur’an turun secara evolutif (tadrij) selama lebih kurang 23 tahun. Hal ini memberikan kesan bahwa al-Qur'an berdialog, sekaligus merespon perilaku masyarakat Arab saat dakwah Islam disampaikan. Indikasi ini dapat dilihat dari gaya bahasa (uslub) al-Qur’an mengungkapkan pesan-pesannya yang tidak tunggal, melainkan sangat beragam.
Gaya bahasa al-Qur’an secara umum meliputi keserasian dalam tata-bunyi, dapat dipahami oleh orang ahli maupun orang awam, diterima oleh akal dan perasaan, formulasi dan narasi yang sangat akurat, variasi dan seni penyusunan kalimat yang sangat kaya, menghimpun gaya tuturan secara global, dan penggunaan kata yang efisien dan efektif. Di antara variasi ungkapan dalam al-Qur’an di atas maupun bahasa lain secara umum, Nasr Hamid Abu Zaid menganggap bahwa majaz (metafor) adalah elemen puncak dari bahasa.
Tidak berlebihan bila majaz diletakkan begitu istiemewa olehnya. Sebab, majaz dapat memberikan jembatan rasio manusia yang terbatas dengan dimensi Ilahiyah, metafisik, adikodrati yang serba tidak terbatas, bahkan juga mengatasi ruang dan waktu. Hal ini berdasarkan pada suatu kenyataan tentang hakikat bahasa bahwa bahasa sebagai simbol pasti memiliki suatu acuan. Karena itu, tidak mengherankan apabila di dalam bahasa al-Qur'an banyak ditemukan ungkapan metaforik-simbolik.
Dengan demikian, majaz begitu penting, lebih-lebih dalam studi al-Qur’an. Maka, eksplorasi majaz pada masa formulasi tidak bisa diabaikan. Tokoh-tokoh utama penyusun konsep ini adalah sebut saja misalnya al-Jahidz (w. 255 H/ 868 M), al-Qadhi Abdul Jabbar (w. 400 H), dan Abdul Qahir al-Jurjani (w. 471 H/ 1078 M).
Pada tulisan yang amat sederhana ini, penulis berusaha mengungkapkan konsep majaz menurut Abdul Qahir al-Jurjani. Di samping sumbangannya yang berharga, karena melengkapi teori al-Baqillani (w. 403 H.), pemikirannya dirasa signifikan. Sehingga, tidak salah, Issa J. Boullata, profesor sastra dan bahasa di McGill University, dalam karya kumpulan buku pilihan tentang mukjizat al-Qur’an, mengangkat Dalail al-I’jaz—salah satu karya al-Jurjani—sebagai salah satu karya yang masih layak dihadirkan sekarang.
Untuk memfokuskan pembahasan, tulisan ini berusaha menjawab, pertama, bagaimana perdebatan teologi yang berkembang pada saat formulasi konsep majaz al-Jurjani? Kedua, bagaimana teori majaz menurut al-Jurjani? Ketiga, bagaimana kontribusi teori tersebut dalam interpretasi al-Qur’an?

Al-Jurjani dan Perdebatan Teologi
Problematika majaz dalam pemikiran Islam termasuk problematika yang cukup kompleks. Berbagai perselisihan seputar majaz bukan hanya representasi perselisihan-perselisihan linguistik semata, melainkan juga representasi perselisihan pemikiran ideologis dan meluas pada pandangan dunia (wordl view) yang sangat mendalam.
Sejak terjadinya polarisasi Syi’ah-Sunni yang menemukan bentuk finalnya, menurut William Montgomery, antara 850-950 M, sejarah kalam merupakan sejarah ketegangan doktrinal politis dengan intensitas berbeda antarkurun waktu antara Mu’tazilah dengan Asy’ariyyah, Hanbaliyyah yang literalis, atau Maturidiyyah.
Pada abad ke tiga hijriyah, kajian mukjizat al-Qur’an, yang majaz merupakan salah satu unsurnya, menjadi obyek pelemik di kalangan kaum muslimim dengan tujuan membela dan mempertahankan ideologi dan faham mereka, seperti buku Ta’wîl Musykil al-Qur’ân karya Ibn Qutaibah, Maqalat al-Islamiyin karya Abi al-Hasan al-Asy’ari, Hujaj al-Nubuwwah karya al-Jahidz, dan al-Intishâr karya Abi al-Hasan al-Khiyath. Di kalangan ulama tafsir, ada juga yang mengkaji kei’jâzan al-Qur’an, seperti al-Thabari dalam Jâmi’ al-Bayânnya dan Majâz al-Qurân yang ditulis oleh Abu ‘Ubaidah. Dari kalangan ulama bahasa muncul seperti, al-Farra (w.207 H), Abu ‘Ubaidah (w. 210 H), al-Ahfasy (w.215 H), al-Zujaj (w. 311H), Abi Ja’far al-Nuhhas (w. 338), dan lainnya.
Polemik yang paling keras dalam masalah ini terjadi di kalangan mutakallimin, terutama dengan kemunculan faham Mu’tazilah. Bermula dari pendapat Labid bin A’sham, seorang Yahudi, yang menganggap Taurat adalah makhluk, maka demikian pula al-Qur’an adalah makhluk. Pendapat tersebut kemudian diikuti oleh Thalut ibn Ukhtah, Banan bin Sam’an, al-Ja’d bin Dirham.
Dari ketiga pengikut Labid bin A’sham tersebut, al-Ja’d bin Dirhamlah yang paling keras melakukan provokasi terhadap pendapatnya, bahkan secara terbuka, ia mengingkari al-Qur’an dan menolak beberapa isi kandungannya. Menurutnya, al-Qur’an sesungguhnya tidaklah memiliki kemukjizatan, karena sebenarnya manusia mampu membuat semisal al-Qur’an, bahkan lebih indah dari al-Qur’an sendiri. Abu Ishaq Ibrahim al-Nadzam, seorang pengikut faham Mu’tazilah menganggap i’jâz al-Qur’ân bukan terletak pada al-Qur’an sendiri, tetapi terletak pada faktor eksternal al-Qur’an, yaitu kehendak Allah yang membuat lemah dan tidak berdaya orang Arab untuk membuat semisal al-Qur’an, meskipun sesungguhnya mereka mampu membuatnya (al-shirfah).
Menanggapi sikap pemikir Mu’tazilah di atas, al-Jurjani (w. 471 H) dengan kitab Dalâil al-I’jâz, menolak pandangan itu. Ketidaksetujuannya ditunjukkan bukan sekedar perbedaan latar belakang madzhab, akan tetapi lebih merupakan teriakan kesalahan pada basis epistemologis Mu’tazilah dalam teologinya.
Jika ketidakmampuan mereka untuk menandingi al-Qur’an itu bukan karena keberadaan al-Qu’an yang mukjizat, tetapi karena dimasukkannya ketidakmampuan ke dalam diri mereka, dan dihalanginya tekad dan pikiran mereka dari kemungkinan untuk mengarang pembicaraan yang semisal dengannya, sehingga keadaan mereka, secara umum, seperti orang yang kehilangan pengetahuan tentang sesuatu yang sebelumnya dia ketahui atau orang yang dihalangi dari sesuatu yang sebelumnya bisa dia capai, maka seharusnya al-Qur’an itu tidak membuat mereka kagum, juga tidak akan muncul tanda-tanda ketakjuban dari diri mereka. Bukankah anda melihat jika seorang nabi mengatakan kepada kaumnya, “Mukjizatku adalah meletakkan tanganku ini di atas kepalaku pada saat ini, sementara kalian semua tidak akan mampu meletakkan tangan kalian di atas kepala kalian” kemudian terjadi seperti yang dikatakannya. Apakah yang dikagumi oleh kaumnya? Peletakan tangannya di atas kepalanya atau ketidakmampuan mereka untuk meletakkan tangan mereka di atas kepala?
Dengan argumentasi yang cukup menarik dan logis, melalui an-nadzm yang mencakup aspek majaz, isti’arah, kinayah, tamtsil, dan jenis-jenis metafora lain, kategori mukjizat al-Qur’an dalam pandangan al-Jurjani menjadi sangat jelas, yakni bukan karena dipalingkan.

Konstruksi Majaz al-Jurjani
Beberapa sarjana kontemporer menetapkan bahwa setidaknya ada tiga group berbeda yang memposisikan majaz, yaitu pertama, Mu’tazilah yang secara dogmatis ajaran-ajarannya banyak bersinggungan dengan majaz, kedua, Zahiriyyah, kelompok yang menolak keberadaan majaz baik dalam bahasa secara keseluruhan maupun dalam al-Qur’an, ketiga, Asy’ariyyah, kelompok yang mengakui adanya majaz dalam kondisi tertentu dan di bawah persyaratan-persyaratan yang ketat.
Perbedaan pandangan tersebut sangat wajar, bila kemudian menengok eksistensi Tuhan dan manusia. Ibnu Arabi, seorang sufi-falsafi, adalah tokoh yang berusaha menggabungkan dua arah sekaligus, yaitu Tuhan dan manusia. Ia menganggap bahwa Tuhan adalah jalan manusia, dan kepada-Nyalah tujuannya. Begitu juga, ia mengatakan bahwa manusia adalah jalan Tuhan, dan kepadanyalah Tujuan-Nya. Kelompok yang menolak majaz memulainya dari Tuhan yang berarti menjadikan kebenaran berada di sana, sedangkan dunia yang kita diami adalah majaz. Sebaliknya, memulai dari dunia kita ini berarti menjadikannya sebagai dunia kebenaran (al-haqiqah), sedangkan majaz merupakan puncak dunia metafisik.
Dan, pada bagian terakhir inilah, al-Jurjani mengambil posisi, majaz merupakan puncak dunia metafisik. Uraiannya tentang majaz sejauh pengamatan penulis dapat dilacak dalam dua kitab, yaitu Dalail al-I’jaz dan Asrar al-Balaghah. Hanya saja, yang penting untuk diketahui, kitab Dalail al-I’jaz terkesan tidak sistematis dengan mengabaikan uraian berdasarkan pembagian bab dan pasal. Dengan demikian, bab-bab yang ditampilkan meloncat-loncat. Penilaian ini disampaikan oleh Muhammad Syakir yang memberikan ta’liq terhadap kitab tersebut, dan memang penulis menemukan fakta itu.
Al-Jurjani menganggap Majaz tidak dapat dipisahkan dari haqiqah. Dalam kitab Asrar al-Balaghah, ia menjelaskan bahwa dua hal tersebut mempunyai makna berlawanan apabila sesuatu yang disifati (al-mausuf bihi) adalah tunggal (mufrad). Haqiqah adalah semua kata yang dikehendaki oleh si pengujar sesuai dengan makna yang diletakkan. Sedangkan majaz adalah semua kata yang dikehendaki oleh si pengujar tidak sesuai dengan makna yang diletakkan sebab ada hubungan antara yang pertama dan kedua. Sebagai contoh, saya melihat harimau, dengan maksud melihat seorang laki-laki pemberani seperti harimau.
Berbeda dengan majaz dalam kata tunggal, menurut al-Jurjani, majaz dalam jumlah terbagi menjadi dua, yaitu majaz aqli dan majaz lughawi. Majaz aqli terdapat dalam itsbat (makna yang menetapkan), sedangkan majaz lughawi terjadi pada mutsbat (makna yang ditetapkan). Contoh majaz yang ada pada makna itsbat adalah
وشيب أيام الفراق مفارقي
Artinya, “Hari-hari perpisahan telah membuat belahan rambutku memutih.”
Dalam contoh ini, bentuk majaz terletak pada penetapan uban sebagai perbuatan hari, padahal jelas tidak demikian. Artinya, hari tidak mungkin menjadikan rambut penyair beruban, akan tetapi itu hanya ditetapkan oleh Allah semata.
Contoh majaz pada al-mutsbat (sesuatu yang ditetapkan) adalah
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ
Artinya, “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia.” (QS. Al-An’am: 122).
Majaz dalam ayat ini terletak pada al-mutsbat, yaitu kehidupan. Artinya, ilmu, petunjuk, dan hikmah dijadikan sebagai kehidupan bagi hati.
Lebih lanjut, al-Jurjani menjelaskan bahwa majaz lughawi terbagi lagi dalam isti’arah dan tamtsil. Secara istilah, isti’arah adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu, karena ada keterkaitan. Misal, saya melihat cahaya, dengan maksud melihat petunjuk. Sedangkan tamtsil sebagaimana dalam sebuah contoh:
أراك تقدم رجلا وتؤخر أخرى
Artinya, “Aku melihatmu melangkahkan satu kaki dan meninggalkan kaki yang lain.” Kalimat ini menggambarkan situasi bingung yang dialami oleh seseorang, sehingga ia seolah seperti orang yang mondar-mandir melangkahkan kaki.

Kontribusi al-Jurjani dalam Interpretasi al-Qur’an
Secara metodologis maupun karya, interpretasi terhadap al-Qur’an mengalami perkembangan. Jika pada masa klasik studi al-Qur’an masih diwarnai oleh pemahaman yang didasarkan atas kecenderungan tertentu, seperti gramatika, retorika dan kandungan tematiknya, seperti fiqih, tauhid, kisah dan lain sebagainya, maka memasuki masa modern tafsir al-Qur’an lebih dilihat secara fungsional, di mana fungsi dan tujuan diwahyukannya al-Qur’an kepada manusia adalah untuk memberikan petunjuk (hudan).
Namun, untuk sampai kepada tujuan tersebut, al-Qur’an pertama kali harus diposisikan sebagai kitab berbahasa Arab. Maka, tugas ilmu tafsir adalah melakukan kontemplasi terhadap al-Qur’an sebagai sebuah kitab bahasa Arab yang teragung (Kitab Al-‘Arabiyyah Al-Akbar) dan mempunyai dampak kesususastraan yang paling besar. Demikian, pandangan beberapa tokoh kontemporer, seperti Amin al-Khuli, Nasr Hamid Abu Zaid, dan Nur Kholis Setiawan.
Penetapan al-Qur’an sebagai kitab bahasa Arab teragung yang bernilai sastra tinggi memposisikannya sebagai teks linguistik. Sebagai teks linguistik, majaz merupakan suatu keniscayaan, sebagai alat bantu untuk memahami dan mengetahui maksud-maksudnya. Dan, semenjak klasik, konsep majaz telah begitu akrab diperbincangkan oleh para tokoh, termasuk al-Jurjani. Dengan demikian, dapat diketahui, betapa al-Jurjani dengan konsep majaz telah memberikan pondasi-pondasi penting bagi interpretasi, yang bahkan sangat digemari oleh tokoh-tokoh kontemporer.

Penutup
Konsep majaz al-Jurjani adalah salah satu metode interpretasi al-Qur’an yang lahir dari kesadaran bahasa, rasio, dan teologi. Karena aspek-aspek yang mengakui eksistensinya sangat kuat, pemakaiannya pun adalah mendesak, untuk tidak mengatakan mutlak. Ayat-ayat al-Qur’an yang metafisik dan metaforis dapat dipahami lebih mudah dengan menggunakan konsep majaz al-Jurjani. Hanya saja, hal demikian belum begitu menggugah banyak umat Islam. Mereka masih Jabbariyyah, sehingga literaris dalam memahami banyak ayat.

Read More..

Hermeneutika Gadamer, Relevankah?

Isu utama yang dibawa positivisme adalah problem metodologi, yang memang dapat dikatakan bahwa refleksi filsafatnya sangat menitikberatkan pada aspek metodologi. Namun, metodologi yang pada awalnya bertujuan untuk memperoleh pengetahuan justru mereduksi pengetahuan itu sendiri. Dengan metodologi, yang disebut pengetahuan adalah fakta-fakta yang dapat diamati semata. Positivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak melampui fakta-fakta. Pernyataan-pernyataan yang tidak dapat diverifikasi secara empiris, seperti etika, estetika, agama, dan metafisika dianggap nonsense.
Penerapan pandangan yang serba terukur ini tidak mengalami kendala bila dikaitkan dengan ilmu-ilmu alam, karena memang sesuai dengan karakternya dalam bingkai hukum sebab-akibat. Akan tetapi, analisis positif dalam ilmu-ilmu sosial tidak akan mudah dilakukan. Sebab, objek observasinya berbeda dari objek ilmu-ilmu alam, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis. Proses-proses sosial dalam sebuah masyarakat terdiri dari tindakan-tindakan yang tidak dapat begitu saja diprediksi dan dipastikan, apalagi dikuasai secara teknis.

Inilah kiranya yang menyadarkan Schleiermacher, Dilthey, Gadamer, dan tokoh lain untuk membendung dominasi positivisme dalam ilmu-ilmu sosial. Gadamer menawarkan hermeneutika bagi penyelesaian problem ini. Melalui hermeneutika, penting kiranya melihat bagian-bagian yang sering dilupakan saat melihat manusia sebagai makhluk historis. Pada makalah ini, penulis berusaha memaparkan konsep hermeneutika Gadamer dan relevansinya dalam ilmu-ilmu sosial dan keagamaan.

Pengertian dan Cakupan Hermeneutika
Sebelum mengetahui jauh tentang hermeneutika Gadamer, kiranya perlu menyampaikan uraian tentang hermeneutika dari segi ontologi, karena bagaimanapun Gadamer bukan tokoh pertama yang memunculkan istilah Hermeneutika.
Sebuah mitologi menyebutkan bahwa kata hermeneutika, pada mulanya, merujuk pada nama dewa Yunani Kuno, Hermes, yang bertugas menyampaikan berita dari Sang Maha Dewa kepada manusia. Tidak mudah bagi Hermes untuk mengemban tugas ini. Karena, bahasa Dewa adalah bahasa langit, sementara manusia sebagai penerima menggunakan bahasa bumi. Upaya-upaya pun dilakukan oleh Hermes agar bahasa Dewa dapat dimengerti oleh manusia, yaitu dengan menerjemahkan dan menafsirkan.
Mediasi dan proses membawa pesan agar dipahami yang diasosiasikan dengan Hermes ini terkandung di dalam semua tiga bentuk makna dasar dari hermeneutika dalam penggunaan aslinya, yaitu (1) mengungkapkan kata-kata, (2) menjelaskan, (3) menerjemahkan. Melihat makna hermeneutika pada tiga hal ini seolah ia terbatas pada tulisan. Pada awalnya, kajian yang dilakukan di sana memang terbatas pada bagian itu. Akan tetapi, wilayah garapnya mengalami perluasan, yaitu pada teks kehidupan sosial.
Dalam bidang ilmu-ilmu sosial, urgensi hermeneutika dikemukakan antara lain oleh Roger Trigg dalam bukunya Understanding Social Science. Trigg mengatakan bahwa dunia di sekitar kita merupakan bahasa yang menyimpan pesan karena diberi makna oleh sistem bahasa yang dimiliki manusia. Oleh karena itu, praktik interaksi manusia dengan bungkusan organisasi, keberagamaan, gotong-royong, dan sebagainya adalah teks yang bisa dipahami, diterjemahkan, dan ditafsirkan.

Pandangan Tokoh dan Peneliti tentang Gadamer
Penelitian tentang Gadamer telah dilakukan oleh para tokoh. Pemaparan yang mereka munculkan tentang Gadamer pun bervariasi sesuai dengan kecenderungan kajian yang mereka tekuni. Di antara tokoh yang banyak terpengaruh oleh Gadamer adalah Fazlur Rahman. Dalam mengemukakan teori double-movement (gerakan ganda) untuk membaca dan menafsirkan al-Qur’an, ia banyak berinteraksi dengan hermeneutika Gadamer. Dengan dua langkah yang ditempuhnya, Rahman tidak lain berusaha mengaplikasikan teori empati dan kesadaran historis pengarang serta teori pembacaan produktif terhadap teks.
Selain itu, Yudian Wahyudi menggunakan sebagian teori hermeneutik Gadamer, ketika mengemukakan kritikan terhadap pemikiran Ulil Abshar Abdalah, yang menurutnya mengabaikan prinsip Horizontverschmelzung (penggabungan cakrawala teks dan cakrawala pembaca) dan lebih mengedepankan subyektifitas interpretif-nya.
Lain halnya dengan dua tokoh di atas yang lebih menekankan internalisasi hermeneutika Gadamer ke dalam teori masing-masing, Sahiron Syamsuddin memandang bahwa bahwa hermeneutika Gadamer dapat digunakan dan penting untuk menafsirkan al-Qur’an. Dengan prinsip-prinsip dalam hermeneutika Gadamer berupa teori kesadaran keterpengaruhan oleh sejarah, teori prapemahaman dan teori lingkaran hermeneutik, teori penggabungan/ asimilasi horison, dan teori penerapan/ aplikasi, Sahiron menemukan relevansinya dengan tafsir al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan yang dilakukan oleh aliran tafsir kontemporer, yaitu pandangan quasi-objektif modernis yang memandang penemuan makna awal terhadap al-Qur’an penting diketahui, akan tetapi bukan maksud yang dikehendaki dari al-Qur’an itu sendiri saat ini. Melainkan, makna awal merupakan pijakan untuk memperoleh makna di masa kini.
Dalam penelitian yang lain, Slamet Warsidi mengelaborasi pemikiran Gadamer dari pandangan-pandangannya tentang fenomena pemahaman, tradisi, kesadaran menyejarah, fusi cakrawala, dan bahasa sebagai cakrawala hermeneutik. Dalam penelitiannya, ia menyimpulkan bahwa hermeneutika Gadamer relevan digunakan untuk kajian keislaman, seperti tafsir dan hadis. Dalam makalah ini, penulis lebih menekankan aspek fungsi hermeneutika dalam ilmu-ilmu sosial dan keagamaan.

Biografi dan Setting Historis Gadamer
Gadamer adalah seorang filsuf yang lahir di Marburg pada tahun 1900 dan mendapatkan pendidikan filsafat di kota kelahirannya. Gadamer memperoleh gelar doktor filsafat pada tahun 1929 dan dikukuhkan menjadi profesor di Marburg tahun 1937 hingga masa akhir karirnya sebagai tenaga pengajar di Heidelbeg. Ketika negaranya baru mengalami disintergrasi, seperti dikatakannya, bahwa pemikirannya berupa mencari sesuatu orientasi. Karya-karya asli monumentalnya adalah Wahrheit und Methode, Philosophie und Hermeneutik, Klien Schriften, Die Idea des Quten Zwischen Plato und Aristiteles, dan lain-lain.
Dengan pemikirannya untuk mencari suatu orientasi baru dalam suatu dunia yang kehilangan orientasi, Gadamer merasa berhutang budi terhadap pemikiran Dilthey, namun juga memberikan reaksi pemikirannya, yakni tentang fenomena mamahami dalam filsafat idealistiknya. Menurutnya, kelemahan filsafat Dilthey adalah secara teoritik tidak cukup mengungkap dimensi masa depan dari setiap arti. Bahkan tidak berhasil mengembangkan secara penuh seluruh implikasi hidup karena masih terlalu banyak namun dengan hidup dari titik pandang kesadaran diri yang objektivistik.
Terhadap tokoh Heidegger, Gadamer mengakui dalam mengembangkan pemikirannya yang spesifik tidak lepas dari sendi-sendi bangunannya. Analisis eksistensial Heidegger tetap dipandang relevan dalam pemikirannya.
Di samping pemikiran Heidegger, Gadamer juga dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Neo-Kantianisme dan fenomenologi Husserl. Sekalipun dekat dengan Hegel, tetapi tidak bertolak dari subjektivisme, begitu juga tidak mengandaikan doktrin idea plato maupun konsepsinya tentang kebenaran dan bahasa.

Hermeneutika Gadamer
Tentang Pengetahuan
Sebagaimana dijelaskan di muka, bahwa pengetahuan tentang ilmu-ilmu sosial dengan menggunakan metodologi ilmu-ilmu alam merupakan tindak pengkerdilan. Maka, Gadamer menawarkan hermeneutika sebagai solusi untuk memecahkan masalah ini. Bagi Gadamer, hermeneutika adalah ontologi dan fenomenologi pemahaman. Artinya, kajiannya bertumpu pada apa hakikat pemahaman dan bagaimana mengungkapkan sebagaimana adanya. Sedangkan wilayah hermeneutika terletak pada perjumpaan antara masa kini dan masa lalu.
Pemahaman sebenarnya bukan sebuah proses subjektif manusia, bukan suatu metode objektivikasi, juga bukan suatu pencarian keterangan tentang suatu objek. Tetapi, pemahaman merupakan suatu peristiwa terbuka, tidak ada ketentuan sebelumnya dan tidak direncanakan untuk pengakuan suatu kebenaran. Jadi, sesuatu yang dipahami membuka berbagai kemungkinan reformasi. Di samping itu, pemahaman menurut Gadamer juga bersifat parsipatorik pada suatu warisan budaya. Pemahaman masuk pada masa transmisi, masa lalu dan masa kini senantiasa diperantarai. Dengan demikian, pemahaman adalah partisipasi dan keterbukaan, bukan manipulasi dan pengendalian. Metode tidak sanggup membuka kebenaran baru, sehingga metode hanya akan ditemukan dalam dialektika.
Di sini terlihat bahwa Gadamer menempatkan cakupan hermeneutika sebagai eksplorasi filosofis tentang karakter dan kondisi mendasar-fundamental dari semua pemahaman serta menolak anggapan bahwa tugas hermeneutika adalah investigasi metodologis ke dalam ilmu-ilmu sosial dan disiplin lainnya.
Dalam pemahaman, Gadamer tidak menyetujui hermeneutika romantik yang meletakkannya pada psikologi pengarang. Sebab, menurut Gadamer, bagaimana mungkin orang dapat keluar dari situasi zamannya sendiri untuk masuk ke dalam suasana zaman lain. Adalah suatu hal yang mustahil orang dapat meninggalkan prasangka-prasangka dan situasi psikis dan sosiologis yang mengitarinya lalu masuk ke dalam suasana lain.
Oleh karena itu, upaya memahami sebuah teks bukanlah dalam rangka meraih makna otentik dari sebuah teks atau makna yang dikehendaki sang pengarang. Suatu pemikiran hermeneutika sejati harus mempertimbangkan historikalitasnya sendiri, konteks kekinian sang penafsir. Dengan demikian, pemahaman tidak semata-mata reproduktif, namun sebuah proses yang sangat produktif, dan kerja-kerja penafsiran akan selalu berubah selama sejarah penerimaan tentang apa dipahami oleh pembaca.
Dalam pandangan Gadamer, ada empat faktor yang selalu terlibat dalam suatu proses interpretasi, yaitu: (1) bildung, yakni pembentukan jalan pikiran. Maksudnya adalah bentuk atau jalan pikiran yang mengalir secara harmonis. Dalam kaitannya dengan proses penafsiran, misalnya bila seseorang membaca suatu teks yang termasuk dalam ilmu-ilmukemanusiaan seperti sejarah, sastra, dan filsafat, maka keseluruhan pengalaman akan ikut berperan. Dua orang yang berbeda latar belakang kebudayaan, usia, atau tingkat pendidikannya tidak akan melakukan interpretasi dengan cara yang sama. (2) sensus cummunis. Istilah ini digunakan Gadamer bukan dalam pengertian ‘pendapat umum’, tetapi sebagai ‘pertimbangan praktis yang baik’. Mengerti konsep ini penting untuk hidup bermasyarakat. Karena hidup di dalam masyarakat mempertimbangkan suatu pandangan tentang kebaikan yang benar dan umum. Sejarawan memerlukan sensus cummunis dengan maksud untuk memahami arus yang mendasari pola sikap manusia. Sejarah pada dasarnya tidak berbicara tentang seorang manusia yang hidup terpencil. (3) pertimbangan, yaitu menggolongkan hal-hal yang khusus atas dasar pandangan tentang yang universal. Pertimbangan merupakan sesuatu yang berhubungan dengan apa yang harus dilakukan. (4) taste atau selera, yaitu sikap subjektif yang berhubungan dengan macam-macam rasa. Namun dengan keseimbangan antara instink, panca indera, dan kebebasan intelektual, sikap ini dapat membuat diskriminasi terhapap hal-hal yang bertentangan dengan yang indah dan yang baik.
Tentang Bahasa
Gadamer membawa problem hermeneutika ke wilayah linguistik, lebih dari sekedar pemahaman historis secara filosofis. Argumennya, bahwa esensi (being) itu bereksistensi melalui bahasa dan karenanya ia bisa dipahami hanya melalui bahasa. Bahasa, bagi Gadamer adalah endapan tradisi sekaligus media untuk memahaminya. Proses hermeneutika untuk memahami tradisi melalui bahasa lebih dari sebuah metode. Pemahaman bukanlah produk metode; metode tidaklah merupakan wahana yang menghasilkan kebenaran. Kebenaran justru akan dicapai jika batas-batas metodologis dilampaui. Dengan demikian, bahasa mempunyai posisi sentral sebagai media yang menghubungkan cakrawala masa kini dengan cakrawala historikal.
Bahasa menurut Gadamer berfungsi pengungkapan kenyataan. Bahkan lebih tegas dikatakan ada yang dapat dipahami dan diketahui secara umum, yaitu bersifat komunikatif jika pikiran membahasa. Lebih lanjut, bahasa adalah realitas yang tidak terpisahkan dari pengalaman hidup, pemahaman, dan pemikiran. Maka, bahasa juga tidak pernah ditangkap sehingga “faktum” atau realitas empirik, tetapi juga prinsip, perantaraan pengalaman (die mitle) dan cakrawala ontologi. Kenyataan bahasa tradisi adalah bersifat kebahasaan, maka jelas memiliki konsekuensi-konsekuensi hermeneutik, yaitu pemahaman itu sendiri bersifat kebahasaan. Dengan demikian, bahasa dan pemikiran membentuk kategori-kategori untuk membangun dan kemudian menafsirkan realitas di sekeliling kita. Tanpa bahasa dan kategori, maka dunia tidak memiliki struktur dan akan kehilangan absurd. Bayangkan, kalau otak kita tidak mengenal kategori panjang-lebar, besar-kecil, lama-baru, tinggi-pendek, dan sebagainya, maka dunia sekitar sulit dipahami dan dikomunikasikan.
Manusia Lewat dan Masuk Tradisi
Di saat manusia berada lewat dan dalam tradisi, jelas ia melihat bahwa situasi sebenarnya di saat pemahaman terjadi adalah selalu berupa pemahaman lewat bahasa, di dalam tradisi. Dalam pemahaman sebagai peristiwa linguistikal dari tradisi, maka masalah pengertian dapat didekati dengan lebih leluasa. Tradisi bukanlah sebuah substansi, tradisi adalah proses yang menyatu dengan eksistensi manusia, sehingga tradisi adalah engkau. Dan kata senantiasa sudah berdiri dalam tradisi. Untuk memahami sebuah teks memasuki tradisi yang sama dengan yang dimiliki oleh teks merupakan prasasti. Partisipasi dalam warisan budaya ke mana sesuatu yang akan dipahami, termasuk merupakan pra kondisi pemahaman. Atau penerjemahan sebagai sebuah pra kondisi pemahaman.
Telah menjadi kenyataan, bahwa banyak hal yang telah mendahului kita yang kemudian terkristal dalam tradisi. Untuk itu, prasangka seseorang jauh telah merupakan kenyataan historikal keberadaan dari keputusan-keputusan yang dibuat dengan sengaja. Ketika kita akan memahami, kita telah memiliki prasangka-prasangka yang hakikatnya merupakan ekspektasi-ekspektasi diam-diam tentang arti dan kebenaran. Sekalipun belum merupakan konsepa yang jelas dan terpisah-pisah. Tidak ada cara pandang dan pemahaman murni tentang tradisi yang tidak mengacu pada suasana kekinian. Sebaliknya, tradisi dipandang dan dipahami hanya dan selalu melalui suatu padangan yang penuh kesadaran dalam suasana kekinian.

Sumbangsih Hermeneutika Gadamer dalam Ilmu-ilmu Sosial
Fokus utama problem hermeneutika sosial adalah terutama untuk menerobos otoritas paradigma positivisme dalam ilmu-ilmu sosial dan humanities. Ia merupakan cara pandang untuk memahami realitas, terutama realitas sosial, seperti teks sejarah dan tradisi. Terdapat dikotomi yang berbeda antara erklaren untuk ilmu-ilmu alam dan metode verstehen untuk ilmu-ilmu sosial. Metode erklaren adalah metode khas positivistik yang dituntut menjelaskan objeknya yang berupa perilaku alam menurut hukum sebab-akibat, sedang metode verstehen adalah pemahaman subejktif atas makna tindakan sosial dengan cara menafsirkan objeknya yang berupa dunia-kehidupan sosial.
Di sini, peranan subjek yang menafsirkan sangat jelas. Dunia-kehidupan sosial bukan hanya dunia yang dihayati individu-individu dalam masyarakat, melainkan juga objek penafsiran yang muncul karena penghayatan itu. Dengan demikian, hermeneutika merupakan penafsiran atas dunia-kehidupan sosial ini. Konsep penafsiran dan pemahaman ini sekali lagi merupakan usaha untuk mengatasi objektivisme dari positivisme yang secara berat sebelah telah melenyapkan peranan subjek dalam membentuk kenyataan sosial.
Lebih dari itu, hermeneutika menurut hemat penulis penting untuk melengkapi pendekatan ilmu-ilmu sosial lainnya. Hermeneutika bukan hanya rem bagi positivisme, melainkan hadir dalam rangka mengembangkan pendekatan sosiologi dan antropologi. Sosiologi yang masuk pada wilayah interaksi manusia belum bisa menembus bagian terdalam dari ragamnya interaksi itu sendiri. Begitu juga antropologi yang masih berkutat pada – meminjam istilah Amin Abdullah – proper noun. Melalui hermeneutika, pengetahuan terhadap manusia dari berbagai dimensinya dapat terpenuhi, tertama pada proporsi dialetika produktif untuk memperoleh kebenaran yang komprehensif.

Relevansi Hermeneutika Gadamer dalam Ilmu-ilmu Keagamaan
Tawaran Gadamer dalam konsepsi hermeneutikanya adalah setiap usaha dan bentuk penafsiran selalu dipergunakan secara signifikan oleh berbagai prakonsepsi dan prasangka yang melekat pada penafsir, yakni dengan cara mendekati untuk sekian asumsi dan probabilitas sehingga muncul sekian kemungkinan wajah kebenaran.
Kunci ketika menyikapi terhadap sebuah teks tentunya bukan tubuh mati, tetapi sebagi tubuh yang hidup, sehingga akan menghasilkan pemahaman yang produktif sebagai al-qira’ah al-muntijah.
Jika pendekatan ini dipertemukan dengan kajian teks al-Qur’an, maka persoalan dan tema yang dihadapi adalah bagaimana teks al-Qur’an hadir di tengah masyarakat, dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dalam rangka menafsirkan realitas sosial. Dalam hal ini, teks al-Qur’an dilihat dari tiga perspektif, yaitu perspektif teologi, filsafat linguistik, dan mistikal.
Namun demikian, dari sudut historis dan filsafat linguistik, pandangan di atas menimbulkan problem tersendiri. Begitu kalam Tuhan telah membumi dan sekarang malah menjelma ke dalam teks, maka al-Qur’an tidak bisa mengelak untuk diperlakukan sebagai objek kajian hermeneutik, yang ditafsirkan serta dikritisi sepanjang zaman.
Pandangan bahwa al-Qur’an berlaku dan cocok di sepanjang zaman dan segala tempat lebih merupakan keyakinan teologis. Sementara itu dari segi pemahaman dan pelaksanaan, klaim itu menuntut pembuktian, di samping pengakuan kita akan adanya otonomi manusia dalam menentukan sikap dan pilihannya sendiri. Di sinilah lingkaran hermeneutik muncul: yaitu, proses dialog dan interogasi yang berlangsung antara al-Qur’an dan pembacanya.
Konsep prasangka yang dikenalkan Gadamer juga berlaku bagi subjek yang membaca sebuah teks, dan bukan terbatas pada pengarangnya saja. Jika seorang pembaca al-Qur’an telah didominasi begitu kuat oleh prasangka atau kecenderungan tertentu, maka horizon al-Qur’an akan menciut mengikuti kehendak pembaca. Padahal, dalam konsep Gadamer terhadap prasangka, kita harus kritis. Jangan-jangan prasangka kita salah?

Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, hermeneutika Gadamer cukup relevan digunakan untuk kajian sosial dan keagamaan. Melalui sikap reflektif-dialektis-kritis kita diarahkan oleh Gadamer secara arif untuk membaca teks-teks sosial maupun keagamaan. Hasil yang diperoleh pun cukup meyakinkan. Hermeneutika Gadamer memberikan masukan-masukan signifikan yang tidak bisa dipandang remeh.

Read More..
 
Powered by Blogger