Pages

Bahasa Arab dan Studi Keislaman


Pengetahuan manusia tidak bisa dilepaskan dari peranan bahasa sebagai medium. Baik pengetahuan yang berasal dari dunia ide (idealisme) maupun pengetahuan yang bersumber dari fakta menyejarah (empirisme), tetap membutuhkan bahasa untuk transformasi ke dalam wujud yang bisa diakses secara lebih luas sekaligus dapat diteoritisasikan sehingga menjadi bagian yang sistematis dan logis. Tak ayal, bila kemudian bahasa mempunyai kedudukan sentral bagi pengetahuan untuk dapat berkembang secara gradual dari waktu ke waktu.
Fakta ragamnya bahasa yang dimiliki oleh kelompok masyarakat di dunia lebih menunjukkan variasinya. Namun demikian, terdapat pandangan yang menyatakan bahwa bahasa adalah representasi dari pengetahuan dan nalar suatu masyarakat. Banyak tokoh yang menguatkan tesis ini. Sehingga, mereka memposisikan bahasa dengan segala struktur yang membentuknya sebagai unsur kesadaran terdekat tentang kapasitas dan kemampuan nalar masyarakat.

Di antara sekian bahasa dunia, bahasa Arab mempunyai keistimewaan tersendiri daripada bahasa yang lain. Hal ini karena ia mempunyai kaidah yang lebih lengkap dari segi waktu, struktur, dan sebagainya. Lain halnya, misal, bahasa Indonesia, mana yang untuk mengungkapkan pekerjaan pada waktu tertentu harus menggunakan kata lain selain kata kerja tersebut. Di samping boros kata, penggunaan ini mempunyai pengertian lambatnya pola pikir dalam logika bahasa Indonesia.

Salah satu alasan mengapa al-Qur’an—yang merupakan sumber pokok Islam pertama setelah hadis—diturunkan pada masyarakat Arab adalah faktor bahasa yang digunakan oleh mereka. Karena bahasa Arab mempunyai bagian-bagian menakjubkan, al-Qur’an menyambutnya dan menjadikannya sebagai titik tolak kemukjizatan. Berangkat dari sinilah, studi Islam dan ilmu-ilmu keislaman tidak bisa dilepaskan dari bahasa Arab. Oleh karena itu, penulis pada makalah ini berusaha mengungkapkan lebih jauh tentang: bagaimana perkembangan bahasa Arab setelah Islam turun dengan al-Qur’an yang berbahasa Arab? Bagaimana kajian keislaman yang menjadikan bahasa al-Qur’an sebagai obyeknya? Apakah bahasa Arab bisa disebut sebagai bahasa Agama?


Lingkup Historis Bahasa Arab

Bahasa Arab berkembang dengan baik tanpa ada yang merusaknya dan jauh dari pengaruh bahasa-bahasa lain. Keadaan ini berlangsung cukup lama. Faktor yang mendukung demikian adalah konsistensi orang-orang Arab sendiri dalam interaksi. Aspek ma’isyah, mereka lebih senang mencarinya di daerah mereka sendiri. Padahal, di beberapa negara lain, seperti Persia dan Romawi, pekerjaan dan sumber penghasilan jauh lebih memadai. Akan tetapi, itu tidak membuat mereka tergiur sehingga merelakan diri hijrah ke sana.

Bahasa Arab mempunyai kelebihan-kelebihan dibanding dengan bahasa lain, baik dalam kalimat, struktur, pengaruh, maupun cakupannya. Sehingga, realisasi ilmu, verbalisasi pikiran dan imajinasi, pemaduan kaidah, dan penentuan korelasi, dapat lebih mudah terwujud.

Masyarakat Arab pra-Islam adalah masyarakat theosofis yang mengakui dan mengesakan Tuhan Nabi Ibrahim. Akan tetapi, citra baik itu kemudian tergadaikan oleh penuhanan berhala dan patung. Beberapa periode kemudian, Islam Nabi Muhammad datang membenarkan akidah yang menyimpang tersebut dengan al-Qur’an sebagai panduan. Sejarah Arab pra-Islam sampai kedatangan Islam menyuguhkan semacam relasi yang sangat menarik tentang bahasa Arab.

Memang pada dasarnya, semua bahasa sekaligus sastranya selalu berkait-kelindan dengan aspek-aspek politik, agama, dan sosial yang terjadi di suatu masyarakat. Hal ini merupakan watak bahasa itu sendiri sebagaimana dijelaskan di muka sebagai media bagi pengetahuan idealis dan empiris. Oleh sebab itu, bahasa Arab selalu menguntit dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam sebagai sebuah agama; persinggungan bahasa Arab dengan Islam sangat erat sekali.

Bahasa Arab mempunyai beberapa periode. Pertama, periode jahiliyyah dan berakhir dengan datangnya Islam. Periode ini berlangsung selama kurang lebih 150 tahun. Kedua, periode awal Islam, mencakup kekuasaan Bani Umayah. Periode ini dimulai pada saat Islam hadir sampai berdirinya daulah Abbasiyah (132 H). Ketiga, masa Bani Abbas, yang dimulai dengan berdirinya kerajaan mereka. Periode ini berhenti sampai jatuhnya kota Baghdad oleh pasukan kerajaan Cina (656 H). Keempat, masa kerajaan-kerajaan Turki yang dimulai dengan runtuhnya Baghdad, dan berakhir dengan masa Arab modern. Kelima, masa Arab modern, yang muncul semenjak abad 19 hingga sekarang.

Dari sekian periode yang membentang itu, masing-masing terdapat keunikan dan kekhasan sendiri. Pada periode Jahiliyyah, bahasa Arab cenderung terkonstruk dalam perumpamaan dan hikmah. Tujuan yang dibangun dari kecenderungan ini adalah untuk berdebat dan menampilkan penjelasan terhadap fakta dan informasi tentang peristiwa dan kisah.

Pada periode kedua, yakni awal Islam, bersamaan dengan tersebarnya bahasa Arab Quraisy, bahasa Arab kental dengan corak Quraisy. Bahkan, bahasa Arab Quraisy ini mempengaruhi beberapa wilayah lain, yaitu Persia dan Romawi. Ciri yang paling menonjol dalam periode ini adalah perhatian yang besar pada fasihah bahasa. Sebab, bahasa Arab Quraisy lebih menekankan bahasa orasi yang mana ini membutuhkan ketepatan, sistematis, dan teratur dalam penyampaian.

Sementara, pada periode ketiga, bahasa Arab sudah banyak mengalami perkembangan, seiring dengan tujuan bahasa itu sendiri. Pada periode Abbasiyah, bahasa Arab berfungsi sebagai alat kondifikasi ilmu syari’at, bahasa, dan logika. Fungsi kedua bahasa Arab adalah sebagai terjemah dari bahasa-bahasa asing. Fungsi ketiga adalah untuk merealisasikan tujuan-tujuan produksi bahasa yang berbeda-beda. Sedang fungsi keempat adalah untuk mewujudkan berbagai pertemuan, diskusi, pembahasan, debat, dan pendalaman ilmu pengetahuan.

Dengan berbagai tujuan di atas, pada periode ini bahasa Arab diungkapkan dalam bentuk, pertama, menghilangkan pemborosan kata dan ungkapan yang mudah. Di sisi lain, ia banyak disampaikan dengan menggunakan kata-kata al-Qur’an. Kedua, transliterasi bahasa-bahasa asing ke dalam bahasa Arab. Ketiga, memperbanyak pemakaian majaz, tasybih, kinayah, dan badi’. Keempat, pemakaian kata-kata yang menunjukkan pengagungan dalam laqab (julukan) khalifah dan pemimpin. Kelima, penggunaan saja’. Keenam, memperbanyak ungkapan-ungkapan dari para filsuf. Ketujuh, memperbanyak penggunaan struktur Yunani. Kedelapan, meletakkan istilah-istilah bagi cabang-cabang ilmu tertentu.

Pada periode keempat, setelah kerjaan dari Cina meruntuhkan kota Baghdad—yang mana koleksi perpustakaan dibakar dan banyak tokoh-tokoh terbunuh—bahasa Arab mengalami metamorfose dengan banyak adobsi dari bahasa Turki. Pada periode ini pula secara resmi, pemerintah Usmaniyyah menjadikannya sebagai bahasa resmi negara. Kenyataan ini membawa dampak yang tidak kecil terhadap kajian keislaman.

Periode kelima, tepatnya pada akhir abad 18 M, bahasa Arab mengalami banyak perubahan. Hal ini karena negara-negara Arab pada abad tersebut berada pada ujung kehancurannya sebagai sebuah daulah, baik dari segi pemerintahannya, akhlak, sastra, dan bahasanya. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh bangsa Eropa dengan baik—bersamaan dengan pesatnya capaian mereka—untuk menaklukkan bangsa Arab melalui pemikiran, keilmuan, dan sastra, tidak dengan ekspansi dan peperangan.


Bahasa Arab Sebagai Sentral Studi Islam

Ketika agama Islam diturunkan di Jazirah Arab, sastra Arab memasuki babak baru. Al-Qur’an telah memberikan pengaruh besar dan signifikan terhadap bahasa Arab. Bahkan, al-Qur’an tak hanya memberi pengaruh terhadap sastra Arab, namun juga terhadap kebudayaan secara keseluruhan.

Bahasa yang digunakan dalam al-Qur’an disebut bahasa Arab klasik. Hingga kini, bahasa Arab klasik masih sangat dikagumi dan dihormati. Al-Qur’an merupakan firman Allah SWT yang sangat luar biasa. Terdiri dari 114 surat dan sekitar 6600 ayat, al-Qur’an berisi tentang perintah, larangan, kisah, cerita, dan perumpamaan. Ini semua begitu memberi pengaruh yang besar bagi perkembangan sastra Arab.

Sementara, tidak diragukan lagi, al-Qur’an merupakan sumber ajaran agama Islam. Berbagai hal yang berhubungan dengan keimanan, nilai, moral, dan hukum dapat ditemukan di sana. Di samping al-Qur’an, Allah swt. menegaskan bahwa hadis merupakan prinsip selanjutnya. Melaluinya, penjelasan dan penetapan tentang materi al-Qur’an dapat digalikan. Dengan demikian, baik al-Qur’an maupun hadis merupakan pusat untuk menggali dimensi-dimensi keislaman.

Satu hal yang penting dimunculkan menyikapi pernyataan di atas adalah lantas bagaimana umat Islam memahami dan menggali keduanya? Jawaban paling mula adalah dengan bahasanya. Umat Islam dapat memperoleh pengetahuan dan ilmu melalui bahasa yang digunakan oleh keduanya. Oleh sebab itu, kajian-kajian keislaman sama sekali tidak bisa dipisahkan dengan tanpa menapaki perjalanan bahasa Arab.

Penegasan bahawa bahasa al-Qur’an adalah bahasa Arab dapat diperoleh dari Surat Yusuf ayat 2.
Artinya, “Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf: 2)

Secara lebih ekstrem Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya tatkala Allah menurunkan kitab-Nya dengan bahasa Arab, tatkala Allah mengangkat Rasul-Nya sebagai penyampai Al Kitab dan Al Hikmah dari-Nya melalui lisan beliau yang berbahasa Arab, tatkala Allah menjadikan orang-orang yang terdahulu membela agama ini dalam keadaan bertutur kata dengan bahasa itu, dan terlebih lagi tatkala tidak ada cara lain untuk memelihara keutuhan ajaran agama dan memahaminya kecuali dengan menjaga bahasa ini, maka itu berarti mempelajarinya termasuk bagian dari ajaran agama dan akan lebih memudahkan orang dalam menegakkan syi'ar-syi'ar agama.”

Banyak cabang ilmu yang dapat diperoleh setelah mempelajari bahasa Arab dengan menjadikan al-Qur’an dan hadis sebagai obyek kajiannya. Di antaranya adalah nahwu, sharaf, balaghah, bayan, badi’, ma’ani, ushul fiqh, ulum al-Qur’an, dan ulum al-Hadis. Dari sinilah kajian dan studi tentang Islam memperoleh pijakannya.

Perkembangan selanjutnya yang dituai studi keislaman dalam wilayahnya yang lebih luas, baik pemekaran dalam metodologi maupun pendekatannya tidak dapat dilepaskan dari ilmu-ilmu di atas. Dengan demikian, ilmu-ilmu di atas di samping merupakan pengetahuan besar umat Islam, juga merupakan batu loncatan menuju kajian keislaman yang lebih luas lagi. Oleh sebab itu, perkembangan dan kemajuan studi keislaman berangkat dari ilmu-ilmu di atas yang menjadikan bahasa Arab sebagai sentral pendulumnya.


Bahasa Arab: Bahasa Agama?

Dengan uraian di atas, apakah bisa dikatakan bahwa bahasa Arab adalah bahasa agama? Tidak mudah untuk menjawabnya.

Komaruddin Hidayat dalam bukunya “Menafsirkan Kehendak Tuhan” memberikan definisi bahasa agama dengan dua hal, yaitu theo-oriented dan antropo-oriented. Mengenai yang pertama apa yang disebut bahasa agama adalah kalam Ilahi yang kemudian terabadikan ke dalam kitab suci.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dalam memikirkan, membahasakan, dan mengekspresikan pikiran tentang Tuhan dan obyek yang abstrak, manusia tetap menggunakan ungkapan yang familiar dengan dunia inderawi, dengan bahasa kiasan dan simbol-simbol sekuler. Hanya saja, ia kemudian diberi muatan yang melewati realitas inderawi.

Dengan demikian, bahasa agama secara historis-antropologis adalah bahasa manusia, tetapi secara teologis di dalamnya memuat kalam Ilahi yang bersifat transhistoris atau metahistoris. Akibatnya, bahasa metafor dalam kitab suci potensial untuk menimbulkan dua implikasi: positif dan negatif.

Segi negatifnya, pesan Tuhan sulit ditangkap secara persis, sehingga umat beragama berselisih paham. Positifnya terletak pada kemampuan bahasa metaforis untuk mengakomodasi penafsiran dan pemahaman baru, sehingga kitab suci maupun karya sastra akan selalu hadir setiap saat tanpa kehilangan daya pikatnya.


Kesimpulan

Sejarah panjang perjalanan bahasa Arab bersamaan dengan Islam telah melahirkan peradaban yang besar. Islam, yang hadir dengan al-Qur’an sebagai kitab sucinya, menyapa masyarakat penerimanya dengan menggunakan bahasa Arab. Berbagai cabang pengetahuan keislaman telah ditemukan dan mengalami perkembangan yang sangat pesat melalui bahasa Arab.

Namun, meskipun bahasa Arab digunakan oleh al-Qur’an maupun hadis dan darinya telah melahirkan berbagai cabang ilmu keislaman tidak lantas bahasa Arab dianggap sebagai bahasa agama. Sebab, agama yang dibahasakan oleh manusia adalah dengan menggunakan bahasa yang akrab bagi mereka. Tentu, agama akan sulit dipahami oleh orang ‘Ajam bila tetap memakai bahasa Arab dalam transformasinya. Meskipun demikian, secara teologis bahasa Arab merupakan bahasa al-Qur’an yang metahistoris. Wallahu a’lamu bi al-shawab.

0 komentar:

 
Powered by Blogger