Pages

Sikap Santri Terhadap Turats dan Tajdid

Ada perbedaan sikap dari umat Islam terhadap turats dan tajdid. Sebagian menganggap turats sebagai lahan yang menyediakan jawaban atas persoalan-persoalan dalam semua aspek kehidupan. Sementara yang lain memandangnya berbeda. Turats telah usang, karena ia didedahkan oleh ulama berdasarkan kebutuhan dan konteks yang melatarinya waktu itu. Sehingga, turats dipandang sebelah mata, sekedar dokumen yang diruju’ setelah referensi-referensi lain.

Sama halnya dengan tajdid. Sikap mereka dalam hal ini bercabang menjadi dua. Aliran pertama menganggap tajdid tidak perlu dilakukakan. Buat apa? Kita sudah punya warisan berupa kitab-kitab khazanah intelektual klasik yang menyuguhkan alternatif-alternatif solusi permasalahan. Dengan demikian, tajdid hanya pekerjaan sia-sia, di samping kapasitas dan kemampuan kita sama sekali tidak memadai.

Sebagian lain menatap tajdid dengan perspektif berbeda. Bagi aliran kedua, tajdid mesti dilakukan oleh semua orang yang hidup pada setiap penggalan zaman. Azas yang mereka pakai adalah perubahan sebagai keniscayaan. Maka, seiring dengan bergantinya zaman dengan persoalan-persoalan ekonomi, politik, budaya, sosial, dan keagamaan yang menjadi background makronya, pembaharuan harus dilakukan.

Sikap demikian tampaknya juga mengidap pada santri—komunitas pencari ilmu agama Islam yang tinggal di pesantren. Sehingga, diam-diam terdapat letupan-letupan kecil dari sebagian santri beberapa pesantren sebagai reaksi dari masalah ini agar tidak jatuh dalam kubang dua kutub berlawanan tersebut. Bagaimana seharusnya sikap mereka terhadap turats? Bagaimana sikap mereka terhadap tajdid? Dan bagaimana menyikapi al-jadid? Berikut akan diuraikan lebih detil.

Penguasaan Turats

Dalam bahasa saya, meskipun sebenarnya terdapat pengertian yang lebih luas, turats adalah kitab-kitab yang ditulis oleh tokoh-tokoh sebelumnya, baik di bidang filsafat, fiqh, ushul fiqh, hadis, ulum al-hadis, tafsir, ulum al-Qur’an, teologi/ kalam, etika, tasawuf, dan sebagainya.

Bagi santri, turats bak mutiara berkilauan memberikan daya tawar yang tinggi dan berarti. Bagaimana tidak, ajaran-ajaran Islam yang diyakini paling benar berasal dari turats tersebut. Al-Qur’an dan hadis sebagai masdar al-tasyri’ (dalam bahasa al-Ghazali al-mutsmir, di samping Ijma’) agar dapat membumi dijelaskan melalui cabang-cabang keilmuan di atas. Oleh karena itu, apa yang kemudian dibaca adalah pemahaman tokoh-tokoh tentang dua sumber ajaran tersebut.

Mengetahui begitu berharganya turats, jelas tugas yang diemban santri adalah penguasaan terhadap materi-materi keilmuan itu. Tentu, ini bukan tugas yang mudah. Karena sebelum memahaminya secara komprehensif terdapat tahap yang harus dilewati, yaitu penguasaan bahasa Arab. Sementara, bahasa Arab dikenal sebagai bahasa yang mempunyai kaidah rumit karena cakupannya yang luas, seperti nahwu, sharf, dan balaghah. Dengan demikian, pendalaman terhadap aspek ini memerlukan waktu yang relatif lama. Maka tidak salah, bila pesantren mempunyai tradisi kuat baca dan kajian kitab kuning ala bandongan dan sorogan, agar santri terbiasa memahami bahasa Arab (turats) secara mandiri dengan pendekatan tradisional.

Menyambut Wacana Tajdid

Namun, apakah turats sudah merangkul berbagai persoalan yang cenderung terus berkembang? Menyadari peralihan masa itu sendiri, turats tidak dapat selamanya dianggap sebagai harga mati yang harus dipertahankan sampai kapan pun. Melainkan, perubahan dan pembaruan merupakan dua hal yang tidak dapat dihindarkan.

Hemat saya, pembaruan atau tajdid mempunyai dua sasaran, yaitu paradigma dan karya. Bergulirnya wacana tajdid yang didengungkan oleh cendikiawan-cendikiawan muslim kontemporer seperti Hasan Hanafi, Arkoun, Nasr Hamid Abu zaid, Adonis, dan lainnya masih dalam lokus paradigmatik. Dan siapa pun yang menyadari pentingnya tajdid, membangun suatu paradigma kritis terhadap pemikiran-pemikiran yang telah lalu merupakan agenda terdekat sebagai loncatan menuju suatu konstruksi baru yang dipandang relevan.

Meskipun demikian, capaian yang mereka dapatkan setidaknya menyadarkan kaum muslimin tentang sikap yang selama ini ditampilkan terhadap turats. Dengan gugatan-gugatan yang terkadang memerahkan telinga pemikir tradisional, mereka seolah menegur kita betapa pandangan yang selama ini dipertahankan sudah tidak layak lagi.

Gelegat pemikiran pembaruan terhadap turats tampaknya juga diminati oleh sebagian santri. Pesantren-pesantren yang lebih inklusif karena diuntungkan oleh regional bersentuhan dengan wacana-wacana keagamaan akademik memberikan ruang yang lebih longgar terhadap para santri untuk melihat secara lebih dekat pandangan-pandangan yang dianggap menyegarkan tersebut. Di pesantren al-Lukmaniyyah, misalnya, mana yang mayoritas santrinya belajar di UIN Sunan Kalijaga, wacana tentang perlunya menyambut tajdid bukan hal asing.

Autokritik

Akan tetapi, seringkali wacana tajdid diterima oleh santri secara parshial. Tajdid dianggap suatu garapan independent tanpa memandang turats. Jelas, tajdid dalam hal ini justru akan menemukan kendala. Pertama, itu tidak disebut sebagai tajdid, karena tanpa pijakan untuk memantulkan pandangan-pandangan pembaruan. Kedua, tajdid sama sekali menjadi wilayah yang kerdil.

Maka, berdasarkan alasan itu, tidak bisa tidak, santri harus mampu melahap turats dengan sebaik dan sebanyak mungkin sebagai syarat menemukan wajah baru. Bila ini mengalami kendala karena kuantitasnya yang besar, ia harus mampu menjadi santri yang eksis dengan satu cabang saja. Barangkali, satu cabang yang berada dalam genggaman tersebut membukakan peti besar keilmuan lain yang masih tertutup.

Dengan bekal semangat tajdid sebagai kelanjutan dari penguasaan turats, santri harus lebih bisa bersikap akomodatif terhadap wacana sosial, politik, ekonomi, teknologi, dan berbagai kegiatan lapangan. Mengapa? Bisa jadi, pada aspek-aspek inilah inspirasi paradigma dan gerakan yang lebih menyegarkan tentang keagamaan menemukan ibtida’nya. Oleh karena itu, sebelum gerbong wacana dan pengetahuan melaju jauh, alangkah baiknya bila kita segera masuk ke dalamnya dan bahkan menguasai satu persatu gerbong itu. Wallahu a’lamu bi al-shawab.

0 komentar:

 
Powered by Blogger