Bagi dunia pesantren, kitab kuning bukanlah istilah asing. Selalu, pihak-pihak yang tinggal di pesantren, baik kyai maupun santri, menjadikannya sebagai pendamping yang diharapkan membawa banyak arti. Lembaran-lembarannya dibuka, dibaca, dan ditelaah dengan penuh kesadaran mencari pengetahuan religi, setiap hari. Bahkan, terkadang, santri mencipta pelangi, karena tertidur setelah memeluknya sekian waktu, dari berbagai materi. Namun, tidaklah mengapa, mengungkapkan kembali beberapa hal mendasar tentangnya, meskipun ia sudah begitu melekat dalam kehidupan mereka dan kita, saat ini. Dengan harapan, materi-materi yang disampaikan olehnya dapat lebih mudah digali dan dimengerti, setelah nanti, ia benar-benar dikaji. Definisi Istilah kitab kuning sebenarnya hanya ada di Indonesia, disematkan oleh agamawan klasik negeri ini, terinspirasi dari warna kuning kertasnya. Memang demikian alasannya, sebab bila diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, sebagai bahasa yang dipergunakannya, ia tidak mempunyai pengertian apa-apa. Coba anda perhatikan, al-kitab al-ashfar, apakah menunjuk pada sesuatu tertentu dalam bahasa Arab? Tentu, anda menjawab tidak. Oleh karena itu, istilah ini sekedar penyederhanaan yang dipungut dari bentuk fisiknya semata. Meskipun demikian, kitab kuning mempunyai maksud dan pengertian lebih dari itu, sebagai buah pemikiran tokoh-tokoh tentang pengetahuan agama yang berbahasa Arab. Pengetahuan agama yang membentang luas tentang tafsir, syarah, fiqh, tasawuf, kalam, ulum al-qur’an, ulum al-hadits, dan sebagainya direkam dalam sebuah wadah dan dokumen yang bernama kitab kuning. Kemudian, bahasa untuk merekam berbagai pengetahuan tersebut adalah bahasa Arab, bahasa al-Qur’an. Maka, meruju’ pada pengertian ini, kitab yang berbahasa Arab dan berkertas putih pun dapat disebut kitab kuning, selama berisi pengetahuan agama. Sumber Penyusunan Kitab Kuning Harus disadari memang, kitab kuning merupakan produk ijtihad ulama. Ia dituangkan berdasarkan kemampuan keberagamaan mereka tentang bidang tertentu. Akan tetapi, semata-mata, itu berasal dari penalaran terhadap al-Qur’an dan hadits. Penalaran sekedar menjadi media menyerap keduanya, bukan satu-satunya. Oleh sebab itu, al-Qur’an dan hadits merupakan sumber pengetahuan dan pemikiran yang tertuang dalam kitab kuning. Maka, kita menemukan berragam karya, yang tidak lepas dari cakupan al-Qur’an dan hadits sendiri, tentang ‘aqaid, mu’malah, etika, dan sebagainya. Penalaran terhadap keduanya, sesungguhnya, mengikuti apa yang pernah dilakukan Nabi Muhammad sendiri, saat menjelaskan dan menguatkan al-Qur’an. Maka, wajar, bila para penerus setelah beliau juga mempunyai hasrat yang sama untuk mewujudkan pekerjaan mulia tersebut. Di samping alasan ini, ijtihad para ulama dalam produksi kitab kuning itu adalah untuk membumikan al-Qur’an sendiri yang difirmankan dalam bahasa yang masih global. Membaca Kitab Kuning Satu tahapan penting yang harus dilalui oleh semua pembaca kitab adalah kesadaran tentang lingkup ruang dan zaman penulisannya. Bahwa, kitab kuning, meskipun berisi kalam mulia dan hikmah, tetap tidak bisa lepas dari sifat lokalitas dan temporalitas. Ulama memang menulis tafsir, misal, yang berisi penjelasan-penjelasan tentang ayat. Akan tetapi, perlu diketahui, ia menulis itu berdasarkan pengalaman-pengalaman pada tempat dan masanya. Situasi sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan lainnya, sedikit banyak turut andil dalam penulisan tersebut. Hal-hal itu mempengaruhi penulis dalam menuangkan pemikiran dan pengetahuannya, tentunya. Maka, di sini, penting menyadari bahwa kitab-kitab yang dipelajari nanti bukan sesuatu yang suci dan tidak tersentuh oleh kritik dan saran. Ia tidak sama dengan hadits, apalagi al-Qur’an. Melainkan, secara inklusif, ia menerima itu sebagai sebuah tantangan. Saat penulisan kitab, penulis menebarkan pandangan-pandangannya, sembari mengajak pembaca berpikir dan bersikap aktif, untuk tidak hanya mengamini, tapi memberikan masukan dan pendapat yang konstruktif. Begitulah! Memang benar demikian. Namun satu keistimewaan yang tidak banyak didapat pada penulis-penulis sekarang, penulis kitab kuning mempunyai orientasi sangat mulia. Mereka menulis kitab bertujuan mengenalkan agama, berdakwah, dan lillahi ta’ala. Barangkali, inilah yang membuat karya mereka begitu monumental dan bersejarah. Lihat saja, kitab al-Ajurumiyyah, Ibnu ‘Aqil, al-Imrithi, Safinah al-Naja, Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab, ‘Aqidatul Awam, dan sebagainya, adalah kitab-kitab yang sampai sekarang dikaji di pesantren-pesantren. Padahal, kitab-kitab itu berumur ratusan tahun lalu. Tentu, motif-motif mulia itulah yang mampu mengeluarkan energi positif, hingga mewaris pada kita. Maka, sebagai bagian dari respon baik pada kitab kuning dan penulisnya, pesantren-pesantren mentradisikan membaca fatihah untuk muallif sebelum ngaji dan mengucap hamdalah setelahnya. Sungguh, suatu tradisi baik yang perlu dilestarikan! Meskipun sebenarnya ada maksud lain dalam tradisi tersebut. Teknis Membaca Kitab Kuning Selama ini, pesantren-pesantren masih mempertahankan pemaknaan gandul sebagai upaya mempelajari kitab kuning. Pemaknaan gandul adalah menerjemahkan kitab perkata ke dalam bahasa Jawa atau Indonesia dengan menyertakan tarkib (jabatan) dan alamat i’rabnya. Misal, الحمد لله رب العالمين Makna gandul, “Alhamdu utawi sekabehane puji, iku lillahi kagungane Allah, rabbil ‘alamin kang nguasani alam kabeh.” Dan, ternyata, sampai saat ini, makna gandul dianggap sangat efektif digunakan untuk membaca dan memahami kitab kuning. Meskipun, harus diakui, metode ini memakan waktu relatif lama. Tapi, tak mengapa…! Penggunaan Simbol/ Tanda Baca Untuk memudahkan itu, simbol-simbol juga penting dipelajari. Simbol-simbol ini mewakili jabatan kata, saat pemaknaan dilakukan. Berikut simbol-simbolnya: م : mubtada’ = utawi خ : khabar = iku فا : fa’il = sopo (orang) ف : fa’il = opo (benda) نف : naibul fa’il = opo مف : maf’ul bih = ing ن : na’at = kang بد : badal = rupane ك : taukid = yo ح : hal = hale تم : tamyiz = apane ع : illat = kerono Meskipun tidak semua disampaikan di atas, namun, itu simbol-simbol yang paling sering digunakan dalam membaca ala gandul. Wallahu a’lamu.
0 komentar:
Posting Komentar